Pages

Ads 468x60px

Featured Posts

Tuesday, 19 May 2015

PROSEDUR MENDIRIKAN PERSEROAN TERBATAS


Bilamana seseorang akan mendirikan sebuah perseroan terbatas, maka para pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan hukum sebagai yang tersebut di bawah ini :

  • a. Pertama, para pendiri datang di kantor Notaris untuk meminta di buatkan akta pendirian PT. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran dasar dari PT yang bersangkutan. Anggaran dasar ini dibuat sendiri oleh para pendiri, sebagai hasil musyawarah antara mereka. Kalau para pendiri merasa tidak sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Notaris yang bersangkutan.
  • b. Kedua. Setelah pembuatan akta pendirian itu selesai, maka notaris mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Direktorat Perdata, Departemen Kehakiman. Akta pendirian tersebut juga dapat dibawa sendiri oleh para pendiri untuk minta pengesahan dari Menteri Kehakiman, dalam hal ini Kepala Direktorat Perdata tersebut, tetapi harus ada surat pengantar dari notaris yang bersangkutan. Kalau penelitian akta pendirian perseroan terbatas itu tidak mengalami kesulitan, maka Kepala Direktorat Perdata atas nama Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian PT yang bersangkutan. Kalau ada hal-hal yang harus diubah, maka perubahan itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman. Begitulah sampai ada surat keputusan terakhir dari Departemen Kehakiman tentang akta pendirian PT yang bersangkutan.
  • c. Ketiga. Para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman tersebut ke kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang wilayahi domisili PT tersebut untuk didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT.
  • d. Keempat. Para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan tentang pengesahan dari Departemen Kehakiman, serta pula surat dari Panitera Pengadilan Negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI. Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum.


_____________________________
H.M.N. PURWOSUTJIPTO, S.H.
PENGERTIAN POKOK HUKUM DAGANG INDONESIA 2
BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN

PENINGKATAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT


Sebenarnya tidak sulit memahami tujuan ini (sebagai landasan tujuan KUHP), yaitu menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya. Apabila setiap orang telah menghayati hak dan kewajiban yang ditentukan hukum kepada mereka, masing-masing akan berdiri di atas hak yang diberikan hukum tersebut, serta sekaligus menaati setiap kewajiban yang dibebankan hukum kepada mereka. Jika demikian rupa penghayatan hak dan kewajiban pada setiap kesadaran rakyat, akan tercipta suatu wujud lalu lintas pergaulan masyarakat yang tertib dan tentram, karena setiap orang mengerti batas-batas kebebasan dan tanggung jawabnya. Mereka akan berhenti dan menahan diri pada batas-batas kebebasan yang di gariskan hukum serta akan bertanggung jawab sepanjang apa yang diwajibkan hukum kepadanya.

Masyarakat yang tinggi kesadaran hak dan kewajiban hukumnya, tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Pada setiap saat siap mempertahankan hak-hak asasinya dari setiap penyalahgunaan wewenang, dan setiap saat pula rela memikul tanggung jawab yang diwajibkan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang menghayati hak dan kewajiban hukum pasti mengerti ungkapan yang berbunyi : "harus berhenti menyebrang rel pada setiap kereta api lewat, dan bukan kereta api yang harus berhenti pada saat si penyebrang melewati lintasan rel kereta api".

Akan tetapi dalam masalah ini kita menemui kesulitan dan hambatan yang tak terhitung jumlahnya, disebabkan beberapa faktor antara lain :

  • a. Faktor kecerdasan masyarakat pada umumnya masih rendah.
Kecerdasan itu masih menumpuk di kalangan masyarakat perkotaan, belum merata ke seluruh plosok tanah air. Akibatnya kesadaran penghayatan hak dan kewajiban hukum, lebih menonjol pada lingkungan masyarakat kota. Oleh karena itu, salah satu upaya mempercepat pemerataan penghayatan dimaksud, harus sejalan dengan peningkatan dan pemerataan kecerdasan yang menyeluruh di kawasan nusantara. Pada masyarakat pedalaman, memang terdapat penghayatan kesadaran hak dan kewajiban hukum, tetapi masih didasarkan pada nilai-nilai statis yang bersumber dari konsepsi kaidah setempat yang ruang lingkupnya terbatas pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Penghayatan mereka belum dimasuki nilai-nilai hak dan kewajiban yang berpandangan luas, meliputi seluruh wawasan nusantara. Itu sebabnya kadang-kadang, nilai-nilai kaidah hak dan kewajiban hukum yang mereka miliki, bersifat antagonistik dan berlawanan dengan hak dan kewajiban yang digariskan undang-undang.


  • b. Faktor kedua; barangkali dapat juga dimasukkan tingkat kehidupan sosial ekonomis.
Faktor taraf sosial ekonomis ikut menghambat pertumbuhan penghayatan hak dan kewajiban hukum. Pada umumnya masyarakat masih selalu disita waktu dan pikirannya untuk bergerak di bidang perjuangan mencari kebutuhan nafkah. Hampir seluruh masa hidupnya dibebani masalah kebutuhan hidup jasmani, demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup biologis. Kepadatan perjuangan lapangan hidup biologis, menyebabkan mereka belum sempat dan belum tertarik memikirkan hal-hal yang filosofis dan yuridis. Kita percaya, semakin tinggi taraf hidup mereka, dengan sendirinya akan tersentuh memikirkan hak-hak dan kedudukan mereka di tengah-tengah lalulintas pergaulan masyarakat.


  • c. Faktor lain; latar belakang budaya yang masih diliputi sikap paternalisme.
Masyarakat selalu pasrah kepada mereka yang memegang kekuasaan. Mereka sepenuhnya percaya dan menyerahkan nasib kepada kehendak para pejabat. Tidak berkehendak menyerahkan nasibnya di bawah kekuasaan hukum. Bagi mereka hukum identik dengan pejabat penguasa atau yang memegang "power posisi". Akibatnya mereka tidak merasa perlu dan tidak mau tahu akan hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya. Kualitas dan besarnya hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, selalu didasarkan pada kehendak dan perintah penguasa. Kalau begitu, salah satu usaha mempercepat arus dimaksud, di antaranya ditentukan oleh cepat lambatnya budaya paternalisme lenyap dari latar belakang budaya masyarakat.


  • d. Faktor selanjutnya, belum ditemukan pola operasional penyuluhan hukum yang efektif.
Tugas penyuluhan hukum bertujuan memasyarakatkan hukum. Karena itu penyuluhan hukum adalah upaya untuk memasyarakatkan hukum. Sasaran utama penyuluhan hukum, lapisan masyarakat bawah yang masih rendah taraf kecerdasannya. Akan tetapi, belum dijumpai suatu pola yang mantap dalam usaha ini, baik yang mengenai materi, biaya, serta koordinasi badan-badan yang bergerak di bidang penyuluhan hukum.


Menurut pengamatan, yang kurang bergerak dalam usaha penyuluhan ini ialah LBH yang terdapat pada fakultas-fakultas hukum. Mereka paling banyak bergerak di bidang bantuan hukum. Barangkali untuk lebih mendekati sasaran penyuluhan hukum dalam rangka memasyarakatkan hukum, dalam usaha mempertebal kesadaran anggota masyarakat akan hak dan kewajiban hukum, sudah saatnya memikirkan dan mempersiapkan pola yang lebih berencana. Misalnya mendirikan lembaga judicare atau "perawatan hukum" yang merupakan badan tempat pengabdian profesi hukum di daerah atau ibu kota kecamatan. Dengan tugas, di samping memberi bantuan hukum di lingkungan daerah kecamatan, sekaligus dibebani tugas tanggung jawab penyuluhan hukum di daerah kecamatan yang bersangkutan.

Jadi, dengan adanya tujuan pemantapan peningkatan penghayatan masyarakat akan hak dan kewajiban hukum, dengan sendirinya KUHAP telah meletakan tugas kepada kita semua terutama kepada aparat penegak hukum untuk giat melakukan penyuluhan hukum yang intensif, guna terwujudnya tujuan yang diamanatkan KUHAP.


__________________________
M. Yahya Harahap, S.H.
PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua), hlm. 59.



Monday, 18 May 2015

HAL-HAL PENTING DALAM PEMBENTUKAN PERSEROAN TERBATAS


Hal-hal penting yang perlu diketahui bagi pembentukan perseroan terbatas adalah sebagai berikut :
  • a. Menurut Polak, jumlah pendiri perseroan terbatas di Jerman ditetapkan dalam undang-undang paling sedikit 5 orang, di Perancis dan di Belgia 7 orang dan di Swiss 3 orang. Sedangkan di Netherland dan di Indonesia paling sedikit 2 orang (pasal 1618 KUHPER). Mengenai jumlah pendiri Prof. Soekardono berpendapat bahwa jumlah itu sebaiknya ganjil, untuk memudahkan pengambilan keputusan dalam musyawarah atau rapat-rapat.
  • b. Akta pendirian harus otentik (dalam hal ini notatiil)-(pasal 38 ayat (1) KUHAD). Tetapi dalam pasal itu tidak dijelaskan apakah di dalamnya termasuk anggaran dasar. Anggaran dasar ini penting sekali adanya dalam kehidupan sebuah PT, dari itu harus disertakan dalam akta pendirian. Pasal-pasal yang dapat diperkirakan dapat menjadi sumber, dari mana dapat disimpulkan adanya anggaran dasar ialah : 45 ayat (2), 48, 49, 52, 53, 54, dan 56 KUHD. Penyebutan dan pemisahan akta pendirian dengan anggaran dasar secara tegas hanya ada dalam undang-undang koperasi, yakni Undang-undang No. 12 Tahun 1967 ( LN 1967-23 dan TLN no. 2832). Pasal 43 ayat (1) dari undang-undang tersebut berbunyi : "Bahan hukum Koperasi termasuk dalam Pasal 41 dinyatakan dalam akta pendirian yang memuat anggaran dasar yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini".
  • c. Akta pendirian yang notariil itu merupakan satu-satunya alat pembuktian yang sempurna bagi adanya perseroan terbatas, (Pasal 38 KUHD). Tanpa adanya akta pendirian yang notariil itu berarti perseroan terbatas tidak ada. Berbeda dengan akta pendirian bagi persekutuan firma yang juga notariil, akta pendirian perseroan terbatas yang notariil iti merupakan syarat mutlak bagi adanya perseroan terbatas. Akta pendirian persekutuan firma itu berda di luar perjanjian pendirian dan persekutuan dan tidak merupakan syarat mutlak bagi adanya persekutuan firma (Pasal 22 KUHD).
  • d. Pengesahan dari Menteri Kehakiman. Pasal 36 ayt (2) KIHD memerintahkan agar akta pendirian beserta anggaran dasarnya di kirimkan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapat pengesahan (bewilliging). Maksud dari adanya lembaga pengesahan ini ialah untuk mengadakan pengawasan "preventif" oleh pemerintah terhadap semua PT yang dibentuk dalam wilayah nrgara RI. Dalam pengertian istilah pengesahan ini terkandung maksud adanya usaha untuk mengadakan pemeriksaan yang seksama terhadap badan hukum tersebut. Dalam ini Pemerintah bertindak aktif dengan maksud untuk mengadakan pengawasan preventif secara intensif.

Pengesahan ini tidak hanya disyaratkan bagi pendirian PT baru saja, tetapi juga disyaratkan bila ada perubahan-perubahan dalam akta pendirian atau anggaran dasar atau bila ingin memperpanjang masa hidup PT.


_____________________________
H.M.N. PURWOSUTJIPTO, S.H.
Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2.
Bentuk-bentuk Perusahaan, hlm. 96.

Sunday, 17 May 2015

PERBEDAAN HUKUM ACARA PERDATA DENGAN HUKUM ACARA PIDANA


Hukum Acara Perdata, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material. Hukum Acara Pidana, ialah hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana material.

Berikut penjelasan secara singkatnya, mengenai beberapa perbedaan dengan sebagai berikut :

1. Perbedaan Mengadili :
  • Hukum Acara Perdata mengatur cara-cara mengadili perkara perdata di muka pengadilan perdata oleh Hakim perdata.
  • Hukum Acara Pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh Hakim pidana.

2. Perbedaan Pelaksanaan :
  • Pada Acara Perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan.
  • Pada Acara Pidana ini inisiatifnya itu datang dari penuntut umum (Jaksa).

3. Perbedaan dalam Penuntutan :
  • Dalam Acara Perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat. Jadi tidak terdapat penuntut umum atau Jaksa.
  • Dalam Acara Pidana, Jaksa menjadi penuntut terhadap si tetdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum yang mewakili negara, berhadapan dengan si terdakwa. Jadi disini terdapat seorang Jaksa.

4. Perbedaan Alat-alat Bukti :
  • Dalam Acara Perdata sumpah merupakan alat pembuktian (terdapat 5 alat bukti yaitu : tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah).
  • Dalam Acara Pidana ada 4 alat bukti (kecuali sumpah).

5. Perbedaan Penarikan Kembali Suatu Perkara :
  • Dalam Acara Perdata, sebelum ada putusan Hakim, pihak-pihak yang bersangkutan boleh menarik kembali perkaranya.
  • Dalam Acara Pidana, tidak dapat ditarik kembali.

6. Perbedaan Kedudukan para pihak :
  • Dalam Acara Perdata, pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim bertindak hanya sebagai wasit, dan bersifat pasif.
  • Dalam Acara Pidana, Jaksa kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa. Hakim juga turut aktif.

7. Perbedaan dalam dasar Keputusan Hakim :
  • Dalam Acara Perdata, putusan Hakim itu cukup dengan mendasarkan diri kepada kebenaran formal saja (akta tertulis).
  • Dalam Acara Pidana, putusan Hakim harus mencari kebenaran material (menurut keyakinan, perasaan keadilan hakim sendiri).

8. Perbedaan Macamnya Hukuman :
  • Dalam Acara Perdata, tergugat yang terbukti kesalahannya maka akan di hukum denda, atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda.
  • Dalam Acara Pidana, terdakwa yang terbukti kesalahannya maka di pidana mati, penjara, kurungan atau denda, mungkin ditambah dengan pidana tambahan seperti ; dicabut hal-hak tertentu dan lain-lain.

9. Perbedaan dalam Bandingan (pemeriksaan tingkat banding) :
  • Bandingan perkara Perdata dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Appel.
  • Bandingan perkara Pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Revisi.
(Appel dan revisi, dalam bahasa Indonesia keduanya disebut banding).


HUKUM PUBLIK (Hukum Negara)


Hukum publik juga dapat dikatakan sebagai suatu aturan yang mengatur masayarakat, sehingga hukum publik juga dapat disebut dengan hukum negara. Beberapa hukum yang berkaitan dengan hukum publik diantaranya ialah, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional.

Penjabaran tersebut dapat dipahami dengan lebih rinci sebagai berikut :

  • 1. Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara yaitu Hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintahan suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, dan hubungan antara Negara (Pemerintah Pusat) dengan bagian-bagian negara (daerah-daerah swatantra).

  • 2. Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara (Hukum Tatausaha Negara atau Hukum Tata Pemerintah), yaitu hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan negara.

  • 3. Hukum Pidana
Hukum Pidana (pidana = hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka Pengadilan. Namun demikian ada pendapat para ahli menganggap Hukum Pidana tidak termasuk Hukum Publik (Paul Scholten dan Logemann).

  • 4. Hukum Internasional
a. Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warganegara-warganegara sesuatu negara dengan warganegara-warganegara dari negara lain dalam hubungan Internasional.

b. Hukum Publik Internasional (Hukum Antara Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara-negara yang lain dalam hubungan Internasional.

Jika berbicara tentang Hukum Internasional, maka hampir selalu yang dimaksudkannya ialah Hukum Publik Internasional.


Saturday, 16 May 2015

PERBEDAAN HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM PIDANA


Sebelum kita ketahui tentang perbedaan dari Hukum Pidana dengan Hukum Perdata. Bahwa perlu adanya pengertian terlebih dahulu dari masing – masing hukum tersebut. Hukum pidana berbeda dengan hukum perdata dalam beberapa hal diantaranya terlihat dari perbedaan pengertian, isi, pelaksanaannya sampai dengan perbedaan menafsirkannya. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dapat diuraikan secara ringkas seperti tercantum dibawah ini :

1. Perbedaan Pengertiaan.

  • Hukum perdata adalah sekumpulan aturan hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu, fokus dari hukum perdata adalah kepentingan personal atau kepentingan individu.
  • Hukum pidana adalah serangkaian kaidah hukum tertulis yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan, dengan adanya ancaman sanksi tertentu.


2. Perbedaan isinya
  • a. Hukum Perdata mengatur hubungan-hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
  • b. Hukum Pidana mengatur hubungan-hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu.

3. Perbedaan Pelaksanaanya
  • a. Pelanggaran terhadap norma-hukum perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan. Pihak yang mengadu, menjadi penggugat dalam perkara itu.
  • Pelanggaran terhadap norma hukum pidana, pada umumnya segera diambil tindakan oleh pengadilan tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah terjadi pelanggaran terhadap norma-hukum pidana (delik = tindak pidana), maka alat-alat perlengkapan Negara seperti Polisi, Jaksa dan Hakim segera bertindak. Pihak yang menjadi korban cukuplah melaporkan kepada yang berwajib (Polisi) tentang tindak-pidana yang terjadi. Pihak yang melaporkan (yang dirugikan) menjadi saksi dalam perkara itu, sedang yang menjadi penggugat adalah Penuntut Umum itu (Jaksa).
Terhadap beberapa tindak pidana tertentu, tidak diambil tindakan oleh pihak yang berwajib, jika tidak diajukan pengaduan oleh pihak yang dirugikan, misalnya : perzinahan, perkosaan, pencurian antara keluarga.


4. Perbedaan Menafsirkan
  • a. Hukum Perdata memperbolehkan untuk mengadakan macam-macam interprestasi terhadap Undang-Undang Hukum Perdata.
  • b. Hukum Pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam Undang-Undang Pidana itu sendiri. Hukum Pidana hanya mengenal penafsiran authentik, yaitu penafsiran yang tercantum Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri (Titel IX dari buku ke I Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Kesimpulan :

Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli, secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kepentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek, hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati oleh para subyek hukum dimaksud.

Pengertian Hukum Pidana secara umum adalah keseluruhan aturan hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengandung keharusan, yang tidak boleh dilakukan dan/atau larangan-larangan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa penjatuhan pidana bagi barang siapa yang melanggar atau melaksanakan larangan atau ketentuan hukum dimaksud. Sedangkan sanksi yang akan diterima bagi yang melanggarnya sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Bersumber dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maka sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.


PEMBAGIAN HUKUM MENURUT PEMBAGIANNYA


Walaupun hukum itu luas sekali sehingga tidak seorangpun dapat membuat definisi singkat yang meliputi segalanya, namun dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas-pembagian, yaitu sebagai berikut :


1. Menurut sumbernya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum Undang-Undang, yaitu hukum yang tercantum dalam, peraturan perundangan.
  • b. Hukum Kebiasaan (Adat), yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat).
  • c. Hukum Traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antara negara (traktat).
  • d. Hukum Jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

2. Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam :

a. Hukum Tertulis. Hukum ini dapat merupakan :
  • Hukum tertulis yang dikodifisikan
  • Hukun tertulis tak dikodifisikan
b. Hukum Tak Tertulis. (Hukum Kebiasaan).


3. Menurut tempat-berlakunya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara.
  • b. Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia Internasional.
  • c. Hukum Alam, yaitu ekspresi dari kegiatan manusia yang mencari keadilan yang mutlak. Untuk mengetahui lebih lanjutnya bisa dilihat di hukum alam dan hukum positif.
  • d. Hukum Adat yaitu hukum yang tidak tertulis namun diikuti oleh masyarakat dan tunduk terhadapnya.

4. Menurut waktu-berlakunya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Ius Constitutum (Hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyatakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
  • b. Ius Constituendum, yaitu hukum yang diharapkan atau hukum yang berlaku pada waktu yang akan datang.
Dari dua keterangan tersebut di atas lebih detail nya bisa dilihat di keterangan Pembedaan Hukum.


5. Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum Material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh Hukum Material : Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain-lain. Jika orang berbicara tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
  • b. Hukum Formal, (Hukum Proses atau Hukum Acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka Pengadilan dan bagaimana cara-cara Hakim memberi keputusan. Contoh Hukum Formal : Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
Dalam mengetahui tentang hukum material dan hukum formal yang sebelumnya penulis utarakan dalam keterangan sumber-sumber hukum.


6. Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak.
  • b. Hukum yang mengatur (Hukum Pelengkap), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.

7. Menurut wujudnya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum Obyektif, yaitu hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu, Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan-hukum antara dua orang atau lebih.
  • b. Hukum Subyektif, yaitu hukum yang timbul dari Hukum Obyektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum Subyektif disebut juga Hak.
untuk lebih detailnya bisa dilihat mengenai Obyek hukum dan Subyek Hukum.


8. Menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam :
  • a. Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
  • b. Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warganegara).


Friday, 15 May 2015

ALIRAN ATAU MAZHAB HUKUM


Beberapa aliran atau mazhab dalam pemikiran tentang hukum, dipandang sangat penting karena mempunyai pengaruh luas bagi pengelolaan hukum lebih lanjut, seperti dalam pembuatan undang-undang dan penerapan hukum termasuk dalam proses peradilan. Atau dengan kata lain beberapa aliran pemikiran hukum mewarnai praktek hukum. Aliran-aliran hukum tersebut adalah :
  • 1. Aliran Legisme
Aliran ini memganggap bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang. Atau berarti hukum identik dengan undang-undang. Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka (wetstoepassing), dengan jalan pembentukan silogisme hukum, atau juridischesylogisme, yaitu suatu dedukasi logis dari suatu perumusan yang luas, kepada keadaan khusus, sehingga sampai kepada suatu kesimpulan. Jadi menentukan perumusan preposisi mayor kepada keadaan preposisi minor, sehingga sampai pada conclusio, dengan contoh sebagai berikut :

a. siapa membeli harus membayar (mayor);
b. Si "A" membeli (minor);
c. Si "A" harus membayar (conclusio).

Menurut aliran ini, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang undang-undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder. (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan yurisprudensi 1979).

Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan undang-undang sebagai hukum; termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial.

Aliran legisme berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang dianggapnya sebagai obat yang mujarab, obat yang manjur. Undang-undang adalah segala-galanya, sekalipun pada kenyataannya tidak demikian. Pengaruh aliran ini masih berlangsung dibeberapa negara yang telah maju sekalipun.

  • 2. Aliran Freie Rechtsbewegung
Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan paham legisme. Ia beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak. Hal ini disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder, pada aliran ini hakim benar-sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Dan keputusannya ini lebih bersifat dinamis dan up to date karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat.

  • 3. Aliran Rechtsvinding
Aliran rechtsvinding dapat dianggap sebagai aliran tengah di antara aliran-aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Menurut paham ini, benar bahwa hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti menurut pandangan aliran legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut sebagai "kebebasan yang terikat", (gebonded-vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije-gebondenheid), oleh sebab itu maka tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menselaraskan undang-undang pada tuntutan zaman. Kebebasan yang terikat dan sebaliknya terbukti tercermin dari beberapa kewenangan hakim dalam beberapa hal seperti tindakan penafsiran undang-undang (metode penafsiran telah dikemukakan); menentukan komposisi yang meliputi analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai arti luas.

Dari anggapan aliran rechtsvinding terurai di atas dapat diketahui pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, disamping perundang-undangan. Hal ini antara lain karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang konkrit diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak dijumpai dalam kaidah yang terdapat pada undang-undang.

Kelengkapan dalam studi demi penghayatan dan pemahaman hukum haruslah belajar dari undang-undang dan yurisprudensi bersama-sama.

Ketiga aliran dalam bidang hukum ini sangat penting tidak saja bagi studi secara teoritis, tetapi malahan akan banyak pengaruhnya di dalam pembentukan hukum, penemuan hukum dan penerapan hukum. Mengenai yurisprudensi seperti telah disinggung sepintas, maka pada hukum Anglo-Saksis (Inggris dan Amerika Serikat), hakim terikat pada keputusan-keputusan dari hakim yang lebih tinggi, dan keputusan terdahulu dari lembaganya sendiri (stare decicis), yang menghasilkan the binding force of presedent; yang tidak dijumpai pada sistem hukum di negara kita. Namun demikian kita memiliki yurisprudensi yang pemanfaatannya bersifat persuasive preseden, yang berarti tidak mengikat secara mutlak. Beberapa faktor yang berperan disini adalah :
  • a. Pembentuk undang-undang tidak dapat mengetahui semuanya terlebih dahulu.
  • b. Pembuat undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan proses perkembangan sosial yang relatif cepat.
  • c. Penerapan undang-undang, menuntut penerapan undang-undang.
  • d. Apa yang patut dan masuk akal dalam suatu kasus tertentu, berlaku juga bagi kasus-kasus lain yang sejenis.
  • e. Peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung.
Demikian beberapa aliran yang berpengaruh sesuai zamannya, serta mewarnai praktek peradilan dari masa ke masa, disamping itu tentunya juga berpengaruh terhadap pembuatan undang-undang.


_______________________
Dr. Soedjono Dirjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM



Thursday, 14 May 2015

PENGARUH AGAMA TERHADAP HUKUM


Sebuah Contoh Tentang Pengaruh Agama Terhadap Hukum

Adolf Schnitzer dalam karyanya Vergleichende Rechtslehre (1961), pada bagian yang menjelaskan tentang keluarga hukum yang ada di pelbagai negara, yang disebutnya ada lima yaitu :

Keluarga hukum daerah Roman, Germania, Slavia, Anglo-Amerika, dan negara-negara Afro-Asia. Beliau menambahkan adanya hukum agama yang sangat berpengaruh yakni hukum Yahudi, hukum Kristen dan hukum Islam.

Di Indonesia, terutama di lapangan hukum perdata khususnya perdata adat, tampak sekali besarnya pengaruh Institusi Islam, termasuk hukumnya ke dalam hukum adat Indonesia. Malahan penelaan-penelaan Belanda pada zaman Hindia Belanda, sebelum C. Van Vollenhoven seperti L.W.C. Van den Berg menganggap bahwa hukum adat (Indonesia) sebenarnya adalah hukum Islam yang diterapkan dalam pergaulan hidup pedesaan, di daerah-daerah hukum adat. Sekalipun demikian diketahui bahwa pada kenyataannya pandangan ini keliru, namun tidak dapat disangkal bahwa agama Islam besar pengaruhnya terhadap hukum perdata adat. Di bawah ini akan diuraikan hal tersebut sekedar sebagai contoh mengenai kenyataan ini. Mengenai pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat diperbincangkan oleh Prof. Mr. J. Prins, dalam karya tulisnya Adat en Islamitische Plichtenleer in Indonesia, Prins berusaha membuktikan bahwa hubungan di antara hukum Islam dan hukum Adat di dalam pergaulan masyarakat hukum dapat dilukiskan menurut tiga kemungkinan yaitu :


  • a. Hukum Islam membawa kaidah-kaidah hukum untuk kepentingan-kepentingan yang belum ternyata di dalam hukum adat Indonesia; di dalam hal ini hukum Islam menambah luasnya wilayah hukum adat. Contohnya, waaf, yang menjadi wakaf Indonesia.
  • b. Suatu lembaga hukum diatur di dalam kedua sistem hukum itu sedemikian, sehingga kedua lembaga hukum itu, yang satu dengan yang lain saling menyesuaikan diri; kedua sistem hukum itu lalu hidup berdampingan secara harmonis. Contohnya, hukm perkawinan.
  • c. Terdapat bentrokan di antara kaidah-kaidah hukum Islam dengan kaidah-kaidah hukum adat, pada umumnya tak dapat dinyatakan lebih dahulu, sistem hukum yang manakah akan menang di dalam pertikaian tersebut. Contohnya, hukum pewarisan.
Berhubungan dengan pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat Indonesia pernah dipergunakan istilah "resepsi" (bah. Latin : receptio). Dengan resepsi itu dimaksudkan : pengaruh satu sistem yang tertentu terhadap satu sistem hukum yang lain, sehingga sistem hukum yang lain itu telah diubah oleh penerimaan hukum yang berpengaruh itu.

Di dalam "Pengantar Ilmu Hukum" karangan Prof. Djokosutono, dikemukakan bentuk-bentuk resepsi :
  • a. Resepsi teoritis (hanya teori-teori hukum asing itu dipelajari oleh ahli-ahli hukum);
  • b. Resepsi praktis (hasil pelajaran secara teoritis itu telah dipraktekkan oleh para ahli hukum);
  • c. Resepsi di lapangan ilmu (ajaran sistem hukum asing itu telah dijadikan mata pelajaran di Universiteit dan sebagainya);
  • d. Resepsi di dalam hukum positif (penggal-penggal dari sistem hukum asing itu telah dijadikan hukum positif di dalam negara yang menerimanya.
Keempat macam resepsi itu dapat diketemukan di dalam kebenaran sosial di Indonesia pada masa sekarang; ke arah mana resepsi itu akan berkembang tak dapat diperbincangkan. Telah menjadi masalah bagi ahli-ahli hukum Islam dengan cara bagaimana kita harus mengatasi perbedaan di antara Syariah (menurut kehendak para fakih) dengan kebutuhan-kebutuhan di dalam masyarakat modern.

Diantaranya, Prof. Mr. Dr. Hazairin mengupas hal itu di dalam karangannya (pidatonya) : "Hukum baru di Indonesia", yakni khusus berhubungan dengan cita-cita untuk menyatukan hukum di Indonesia, beliau mengemukakan bahwa hukum Syariah sebenarnya haruslah hanya berdasarkan Qur'an dan Hadits saja, sebaliknya, Fikih, yang telah dibekukan dari abad ketiga Hijrah, sedapat-dapatnya haruslah dihidupkan kembali. Salah satu bagian menarik yang diketengahkannya adalah :

  • "Dengan demikian nyatalah bahwa hukum Qur'an itu memang "dapat" dijalankan di semua pojok dunia Islam dengan tidak perlu sekali-sekali menjadikan tiap-tiap pojok itu seperti masyarakat Arab, asal saja orang Islam telah mampu kembali melepaskan dirinya dari belenggu taklid kepada ulama-ulama Arab dan masyarakat Arab seribu tahun yang lampau dan kembali kepada pokok-pokoknya di perkembangan agama dan hukumnya yaitu Qur'an dan Sunnnah, dan menyesuaikan masyarakatnya setiap zaman dengan pokok-pokok luhur tersebut".
Dengan kata lain : Dengan penuh keinsyafan bahwa Qur'an dan Sunnah (bagi ummat Islam) adalah hukum yang kekal dan abadi, maka fikih harus dijadikan hukum positif di dalam sistem hukum syariah. Demikian cita-cita Hazairin, untuk menyesuaikan hukum Islam kepada masyarakat yang dinamis dan modern, di mana hukum adat dipertahankan pula, yaitu sebagai hukum positif.

Pengaruh agama Masehi bagi orang-orang Kristen khusus terletak di lapangan hukum perkawinan; walaupun di dalam Hukum Adat Poligami diakui, oleh agama Masehi dilarang perkawinan di antara seorang lelaki dengan lebih dari pada seorang perempuan pada satu waktu yang tertentu. Khusus untuk orang-orang Indonesia yang beragama Kristen ditetapkan Huwelijks ordonnantie Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (stbl. 1933-74), yaitu suatu ordonansi yang menyampingkan Hukum Adat Perkawinan dan memberikan peraturan-peraturan yang tegas terhadap perkawinan orang-orang Indonesia yang beragama Kristen.


______________________________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM   hlm. 142/146.


Wednesday, 13 May 2015

TERJADINYA HUKUM


Terjadinya Hukum (Dalam Perkembangan Dewasa ini, Tentunya Pembentukan atau Terbentuknya Hukum Baru)

a. Sebuah Ilustrasi
Terjadinya hukum di Inggris pada awalnya dan masih terus berkembang adalah hukum berasal dari kebiasaan dalam masyarakat dan dikembangkan oleh keputusan-keputusan pengadilan. Hukum Inggris yang demikian ini dinamakan common-law, yang pertumbuhannya dimulai pada tahun 1066, saat berkuasanya William The Conqueror di Inggris, yang kemudian diikuti oleh pengganti-penggantinya disamping menganut tata pemerintahan juga dalam mengatur peradilan yang kerapkali ditangani oleh pegawai-pegawai kerajaan yang berperan sebagai hakim, yang keliling dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Maka hakim-hakim tersebut dinamakan judges of lyre atau itinerant judges. Dari keputusan-keputusan hakim ini tumbuhlah apa yang dinamakan common-law.

Disamping common-law di Inggris berlaku pula hukum yang terjadinya sebagai hasil dari pembentukan undang-undang. Hukum yang berasal dari perundang-undangan ini disebut sebagai statue-law, yang merupakan bagian kecil dari common-law. Sebagai contoh dari hukum statuta Inggris ini dalam hukum pidana materiil misalnya dapat ditemukan :
  1. Offences against the Person Act 1861,
  2. Homicide Act 1957,
  3. Theft Act 1968.
Jadi dapat dikatakan bahwa Inggris yang menganut sistem hukum common-law, hukumnya terjadi dari kebiasaan dan jurisprudensi pengadilan dan perundang-undangan.

Dengan versi yang lebih khas di Indonesia pun memiliki hukum yang tumbuh dari kebiasaan dalam masyarakat, yang dikenal sebagai hukum adat yang telah diuraikan di muka. Namun hanya terbatas di lapangan hukum perdata khususnya bagi golongan bumi-putra.

b. Pandangan-pandangan ekstrim tentang terjadinya hukum
Secara umum dikatakan oleh J.P. Glastra van Loon adanya dua pandangan ekstrim mengenai hal ini yaitu :
  • 1. Pandangan legisme, (yang berkembang dan berpengaruh sampai pertengahan abad ke-19). Menurut pandangan ini hukum-hukum terbentuk hanya oleh perundang-undangan (Wetgeving). Dan hakim secara tegar terikat pada undang-undang, peradilan adalah hal menerapkan secara "mekanis" dari ketentuan undang-undang pada kejadian-kejadian yang konkrit (kasus-kasus). Kebiasaan hanya akan memperoleh kekuatan sebagai hukum berdasarkan pengakuan oleh undang-undang.
  • 2. Pandangan Freirechtslehre (peradilan abad ke-19/20), menurut pandangan ini hukum terbentuk hanya oleh peradilan (rechtspraak); undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana-sarana pembantu bagi hukum dalam menemukan hukum pada kasus-kasus konkrit. Pada pandangan ini titik berat pada kegunaan sosial (socialedoel matigheuid).
c. Pandangan terjadinya hukum yang dianut dewasa ini
Pandangan-pandangan yang ekstrim dan secara tegas membedakan hukum berasal dari perundang-undangan dan yang berasal dari peradilan, serta masing-masing hanya mengakui pada dominasinya, ternyata tidak dapat dipertahankan hingga dewasa ini.

Ajaran yang berlaku dewasa ini menjelaskan :
  1. Hukum terbentuk melalui beberapa cara;
  2. Pertama-tama karena pembentuk undang-undang (wet-gever) membuat aturan-aturan umum; hakim harus menerapkan undang-undang;
  3. Penerapan undang-undang tidak dapat berlangsung secara "mekanis", ia menuntut penafsiran (interprestasi) dan karena itu ia sendiri kreatif.
  4. Perundang-undangan tidak dapat lengkap sempurna, kadang-kadang harus digunakan istilah-istilah yang kabur yang maknanya harus diberikan lebih jauh oleh hakim, kadang-kadang terdapat kekosongan (leemtes) dalam undang-undang yang harus diisi oleh peradilan.
  5. Disamping oleh perundang-undangan dan peradilan, hukum terbentuk oleh karena di dalam pergaulan sosial terbentuk kebiasaan yang terhadapnya para peserta (pelaku) pergaulan sosial itu menganggap saling terikat, sekalipun kebiasaan itu tidak ditetapkan secara eksplisit oleh siapapun.
  6. Peradilan kasasi berfungsi terutama untuk memelihara kesatuan hukum dalam pembentukan hukum.
Dari uraian-uraian tersebut di atas jelas bahwa hukum terbentuk karena kebiasaan, perundang-undangan dan dalam proses peradilan. Apabila kita baca karya Wolfgang Friedman, Law In Changing Society, pada bagian hubungan antara perubahan hukum dan perubahan sosial, maka proses pembentukan dan terjadinya hukum, tercermin dalam pandangan-pandangan von Savigny dan Jeramy Bentham yang saling berhadapan, yang pertama berpendapat hukum terjadi dari pergaulan dan yang terakhir hukum dibuat oleh pembentuk undang-undang. Kemudian tampil Eugen Erlich yang mengkompromikan pandangan keduanya, dengan melihat kenyataan pada masyarakat modern, hukum bisa terjadi melalui perundang-undangan, karena proses di dalam pengadilan dan bisa karena kebiasaan (konvensi dalam hukum tata negara), traktat dan sebagainya.


________________________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM

Tuesday, 12 May 2015

FUNGSI HUKUM


Seperti telah dikemukakan dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya, sedemikian rupa, sehingga dapat mengiringi masyarakat-masyarakat yang berkembang.

Secara garis besar fungsi hukum dapat diklasifirkan dalam tiga tahap yaitu :
  • a. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-normanya yang mengatur perintah-perintah ataupun larangan-larangan, sedemikian rupa, sehingga warga masyarakat diberi petunjuk untuk bertingkah laku. Masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat atau tidak berbuat, sedemikian rupa sehingga sesuatunya bisa tertib dan teratur. Sebagai contoh orang-orang yang menonton bioskop telah sama-sama mengetahui apa yang harus dilakukan. Beli karcis antri, masuk ke pintu masuk antri pula, demikian pula setelah film berakhir masing-masing meninggalkan ruangan melalui pintu-pintu yang telah tersedia. Demikian tertibnya karena semua ketentuan telah jelas dimengerti oleh penonton. Dalam prakteknya pada lingkup yang luas hukum bekerja demikian rupa seperti contoh tersebut diatas.
  • b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Bisa penjatuhan nyata dan takut berbuat yang merupakan kekangan. Daya mengikat dan bila perlu memaksa ini adalah watak hukum yang bisa menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan, menghukum yang bersalah, memutuskan agar yang hutang harus membayar dan sebagainya, sedemikian rupa, sehingga relatif dapat mewujudkan keadilan.
  • c. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya mengikat dan memaksa dari hukum, juga dapat dimanfaatkan atau didaya gunakan untuk menggerakan pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Dalam hal ini sering ada kritik atas fungsi hukum sebagai alat penggerak pembangunan, yang dianggapnya melaksanakan pengawasan perilakh dan mendesaknya, semata-mata hanya kepada masyarakat belaka sedangkan aparatur otoritas dengan dalih menggerakan pembangunan, lepas dari kontrol hukum. Sebagai imbangan dari padanya bisa dilihat pada fungsi berikutnya.
  • d. Fungsi kritis dari hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawasan, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
Demikian hukum memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa sehingga di dalam suatu kehidupan bermasyarakat, diharapkan terwujudnya ketertiban, keteraturan, keadilan, dan perkembangan, sedemikian rupa, sehingga dapat dijumpai masyarakat yang senantiasa berkembang. Agar hukum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dan seyogyanya, maka bagi pelaksana penegak hukum dituntut kemampuan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum, dengan seni yang dimiliki masing-masing, antara lain dengan menafsirkan hukum sesuai keadaan dan posisi pihak-pihak sedemikian rupa. Bila perlu dengan menerapkan penafsiran analogis (menentekan kebijaksanaan untuk hal yang sama, atau hampir sama), serta penghalusan hukum, bagi tercapainya kebijaksanaan yang konkrit.

Disamping itu perlu diperhatikan faktor pelaksana penegak hukum, yang dibutuhkan kecekatan dan ketangkasan serta keterampilannya. Ingat yang penting adalah the singer but not the song. Si penyanyi adalah semua insan di mana hukum berlaku baik warga masyarakat ataupun para pejabat, termasuk para penegak hukum.


______________________________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM


HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF


Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan hukum yang sebelumnya telah dibahas tentang pasang-pasangan hukum antara Ius Constitutum dan Ius Contituendum. Selanjutnya kita bahas tentang perbedaan dan persamaan dalam hukum , tentang Hukum Alam dan Hukum Positif, yaitu sebagai berikut :

a. Hukum Alam
Hukum alam adalah ekspresi dari kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak. Selama sekitar 2500 tahun upaya ini berjuang mencari hukum yang ideal yang lebih tinggi dari segala hukum positif (akan dijelaskan).

Upaya mencari hukum yang ideal ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran hukum alam telah banyak dipergunakan oleh pelbagai bagian masyarakat dan generasi, untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam dapat dipergunakan sebagai senjata untuk perkembangan politik dan hukum.

b. Hukum Positif
Hukum positif atau stellingrecht, merupakan suatu kaidah yang berlaku, sebenarnya merumuskan suatu hubungan yang pantas antara hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputisan-keputusan. Keputusan yang konkrit sebagai fakta sosial yang mengatur hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu tertib pergaulan hidup. Suatu gambaran tentang hukum posituf tertentu, selalu merupakan lukisan tentang tertib hukum tertentu, yang berarti suatu tertib hukum yang terkait tempat dan waktu tertentu pula. Hal ini karena ia merupakan suatu abstraksi dari kehidupan. Artinya hal itu merupakan suatu pengetahuan tentang kenyataan tertenti, yang terjadi di suatu tempat dan masa tertenti. Maka menurut Logemann hukum positif adalah kenyataan hukum yang dikenal. Hal ini sebagai lawan dari hukum keagamaan atau hukum alam, yang merupakan kaidah yang secara kritis berhadapan dengan kenyataan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1980).

Selanjutnya oleh Purnadi Soerjono disimpulkan bahwa pembedaan antara hukum alam dengan hukum positif terutama terletak pada ruang-lingkup dari hukum. Pada ajaran-ajaran hukum alam terdapat prinsip-prinsip yang diberlakukan secara universal. Artinya ingin diberlakukan di manapun dan pada apapun juga. Sedangkan orientasi hukum positif adalah pada tempat dan waktu tertentu. Seterusnya apabila dihubungkan ajaran hukum alam dan orientasi hukum positif, maka terungkap tiga wawasan :

  1. Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
  2. Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional.
  3. Hukum alam sebagai pembenaran hal asasi manusia.
Marilah dipelajari pula beberapa pandangan tentang pembedaan hukum positif dan hukum alam dari ahli-ahli hukum terkemuka dunia.

Dalam karya Hugo de Groot (1583-1645) mengatakan bahwa segala hukum bersifat asli, atau bersifat diberikan atau ditetapkan. Dengan kalimat ini dihadapkan dua jenis hukum yakni hukum alam dan hukum positif.


_____________________________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM

IUS CONSTITUTUM DAN IUS CONSTITUENDUM


Dari hasil pembelajaran ini dapat ditemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di dalam sistem hukum, yang disebabkan karena perbedaan waktu atau antar negara. Untuk hal ini terdapat aneka cara pembedaan hukum, di antaranya yang dibedakan adalah antara pasangan-pasangan hukum sebagai berikut :

Ius Constitutum dan Ius Constituendum

  • a. Ius Constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu sebagai contoh : hukum Indonesia yang berlaku dewasa ini dinamakan Ius Constitutum, atau bersifat hukum positif, juga dinamakan tata hukum Indonesia. Demikian pula hukum Amerika yang berlaku sekarang, Inggris, Rusia, Jepang dan lain-lain.
  • b. Ius Constituendum adalah hukum yabg dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan lain. Pendapat yang demikian juga diketengahkan oleh Sudiman Kartohadiprodjo (Purbacaraka-Soerjono Soekanto, 1980).
Perbedaan keduanya didasarkan pada perkembangan sejarah tata hukum tertentu. Seperti dikatakan oleh W.L.G. Lemdire (1952) bahwa hukum menerbitkan pergaulan hidup manusia suatu tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Ia merupakan hasil perkembangan sejarah yang terbentuk dan akan hilang. Jadi bisa dikatakan bahwa Ius Constitutum sekarang adalah Ius Contituendum pada masa lampau.

Oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1980) ditegaskan bahwa pembedaan Ius Contitutum dengan Ius Contituendum merupakan suatu abstraksi dari fakta bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan suatu proses perkembangan.

Demikianlah bahwa hukum pun merupakan suatu lembaga masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan, sedemikian rupa, sehingga apa yang dicita-citakan, pada saatnya terwujud menjadi kenyataan, sebaliknya yang sedang berlaku menjadi pudar ditelan waktu karena telah tidak cocok lagi (mengalami deskrapansi atau kesenjangan antara kaidah dan kenyataan sosial).

______________________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM


SUBYEK HUKUM DAN OBYEK HUKUM


A. Subyek Hukum
Subyek hukum atau subject van een recht; yaitu "orang" yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu, akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak.

Dalam hukum internasional, subyek hukum dapat secara individual ataupun negara, penjelasan lebih mendalam mengenai istilah subyek hukum ini dapat dipelajari dari karya Logemann; Over de theori van een stelig staatsrecht, 10 + vinogradof; (common sense in law, chapter III).

Singkatnya subyek hukum dalam hukum perdata terdiri dari : [1]
  • 1. Manusia (Natulijke Persoon)
Manusia merupakan subyek hukum karena sejak ia dilahirkan (bahkan dalam kandungan) ia sudah merupakan pendukung hak dan kewajiban. Keadaan ini berakhir pada saat manusia meninggal dunia.
  • 2. Badan Hukum (Recht Persoon)
Selain manusia, badan hukum juga merupakan pendukung hak dan kewajiban. Badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum layaknya manusia.

Menurut hukum perdata, keduanya, manusia dan badan hukum disebut sebagai orang (persoon), yaitu pembawa hak dan kewajiban.[2]

B. Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga penguasaannya diatur oleh kaidah hukum.

Adapun penjelasan Jenis objek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni :
  • 1.    Benda Bergerak adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud.
  • 2.    Benda Tidak Bergerak adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik/lagu.

_____________________________
Pengantar Ilmu Hukum/Soedjono Dirdjosisworo; prakata oleh Soebekti, Jakarta 2014.
[1] Komariah. Hukum Perdata, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. 2002. Hlm. 21-23
[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2008. Hlm. 22.

Monday, 11 May 2015

PENGERTIAN PERISTIWA HUKUM DAN AKIBAT HUKUM


A. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum. Seperti misalnya perkawinan antara pria dan wanita, akan membawa bersama dari peristiwa itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik untuk pihak laki-laki yang kemudian bernama suami dengan serangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Demikian pula pihak wanita yang kemudian bernama istri dengan serangkaian hak dan kewajibannya. Maka perkawinan ini hakikatnya adalah suatu peristiwa hukum, walaupun apabila dilihat dari sudut lain misalnya dapat dinamakan sebagai lembaga-hukum (institusi hukum).
Demikian pula misalnya kematian seseorang, akan pula membawa berbagai akibat hukum, seperti di bidang hukum sipil akan membawa akibat penetapan pewaris dan ahli waris. Dan apabila di bidang hukum pidana, seandainya kematian tersebut akibat perbuatan seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat hukum berupa pertanggung jawaban pidana. Pokok peristiwa hukum ini dapat mengenai berbagai segi hukum baik hukum publik ataupun hukum privat, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum publik dan perdata internasional, hukum pidana, niaga, sipil dan sebagainya.

B. Akibat Hukum
Suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan berakibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan persahabatan biasa seperti ingkar janji untuk menonton bioskop bersama tidak membawa akibat hukum. Namun secara non-hukum misalnya ganjalan dan tidak enak dari yang dijanjikan bisa saja terjadi.

C. Perbedaan Antara Peristiwa Hukum Dan Akibat Hukum.

Untuk lebih memfokuskan serta memudahkan pemahaman mengenai peristiwa hukum maka di bawah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang peristiwa hukum, diantaranya yaitu :

  • Peristiwa hukum ialah suatu rechtsfeit atau suatu kejadian hukum.
  • Peristiwa hukum ialah suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum.
  • Peristiwa hukum ialah perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.
Menurut Apeldoorn peristiwa hukum ialah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak. Menurut Bellefroid peristiwa hukum ialah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat merupakan peristiwa hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan sebagai peristiwa hukum.

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.[1]
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.[2]

_____________________
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
[1] Soeroso, R., SH., Op-Cit, hlm 295
[2] Syarifin, Pipin, SH., Op-Cit, hlm 71

SENGKETA PERTANAHAN DAN SISTEM PERADILANNYA



A. Pengertian  sengketa atas tanah

Sengketa :
  • 1.    Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat/ pertengakaran ;
  • 2.  Pertikaian, perselisihan ;
Sengketa tanah berarti karena adanya :

  • 1. Perbedaan pendapat tentang kepemilikan tanah,
  • 2.  Perselisihan dalam pemberian ganti kerugian dalam pembebasan tanah ;

Sengketa hukum atas tanah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan akan memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.


B.    Ruang Lingkup Sengketa Tanah
Sifat  permasalahan dari suatu sengketa tanah secara umum ada beberapa macam  :

  • 1). Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya ;
  • 2). Bantahan terhadap suatu alas hak/ bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata) ;
  • 3). Kekeliruan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/ tidak benar ;
  • 4). Sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis. Sengketa tanah, apabila ditinjau dari  perstiwa hukum, akibat adanya :

Perbuatan hukum bersegi dua yakni adanya perjanjian antara pihak penjual dengan pemilik tanah)   Perbuatan yang bertentangan dengan azas hukum, yakni perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan oleh seseorang terhadap pemilik tanah Namun dapat juga adanya :

  • a)    Kekeliruan pihak penguasa dalam mengambil keputusan pemberian hak atas tanah dan sekaligus pemberian sertifikatnya.
  • b)  Penggantian kerugian yang tidak sesuai/ tidak memadai. Adanya tanah yang telah dibeli seseorang dan telah dibayar, namun tanahnya tidak ada, atau telah dikuasasi oleh orang lain, sehingga menimbulkan perselisihan yang penyelesaian nya sampai ke Pengadilan. 
Sengketa atas tanah terjadi karena adanya dua kepentingan antara pemilik tanah yang sama-sama mengaku memiliki tanah tersebut, karena dijual, ditukar atau dijadikan hak tanggungan dan sebagainya. Sengketa pertanahan juga terjadi dalam pemberian ganti rugi tanah yang dibebaskan oleh pemerintah guna pembangunan untuk kepentingan umum, seperti halnya untuk pembuatan waduk, jalan, pasar, pelabuhan laut maupun udara, terminal bus dll. 

a.     Mekhanisme Penyelesaian sengketa ;
Mekhanisme penanganan sengketa tanah lazimnya diselengarakan dengan pola sebagai berikut .

  • 1.  Pengaduan      Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan melampirkan bukti-bukti dan mohon penyelesaian, disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya ;
  • 2.  Penelitian      Dari pengaduan tersebut, apabila ternyata terdapat dugaan kuat, bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka selanjutnya diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa.
  • 3.  Pencegahan mutasi      Pada tahap  pencegahan mutasi dimaksudkan menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan, dengan tujuan :
a).Untuk kepentingan penelitian dalam penyelesaian sengketa ;
b). Untuk kepentingan pemohon sendiri.

  • 4. Musyawarah      Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Sebagai mediator dalam musyawarah ini adalah dari pihak Dirjen Agraria sekarang ini Badan Pertanahan Nasional.
  • 5. Melalui PengadilanApabila usaha-usaha musyawarah mengalami jalan buntu, maka jalan terakhir mengajukan penyelesaian sengketa pertanahan tersebut ke Pengadilan

b.     Putusan Pengadilan

1. Macam-macam putusan Pengadilan.
a. Putusan Peradilan Pidana, berdasarkan pasal 191 KUHAP :            

  • 1).    Membebaskan terdakwa, apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti
  • 2). Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan, jika ternyata kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi ternyata bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu bukan merupakan tindak pidana, termasuk juga dalam hal jika ada kekeliruan dalam surat tuduhan, juga putusan hakim jika ybs. Termasuk orang-orang yang dituangkan dalam 44 KUHP, 48, 49 dan 51 KUHP ;
  • 3). Menghukum terdakwa, jika baik kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah ia lakukan, maupun perbuatan itu adalah sesuatu tindak pidana, menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan apabila terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada.            
 b. Putusan Pengadilan Perdata HIR :                  

  • 1)  Keputusan yang declaratoir yaitu keputusan Hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya sesuatu keadaan hukum tertentu. Misalnya ” Menyatakan sebagai hukum bahwa si A adalah ahli waris dari almarhum Z ” atau ” si A adalah pemilik dari tanah ini ”              
  • 2) Keputusan yang condemnatoir yaitu keputusan Hakim yang sifatnya menjatuhkan hukuman. Misalnya ” Menghukum tergugat untuk membayar pengganti kerugian sebesar sekian rupiah ”            3) Keputusan constitutif yaitu keputusan yang bersifat menghapuskan, memutus atau mengubah suatu keadaan hukum tertentu, atau dijadikan hukum yang baru. Misalnya  : Suatu perkawinan dinyatakan batal” atau  ” Sertifikat tanah dinyatakan batal” 

2. Putusan Pengadilan .        
a.       Dalam hal terjadi adanya penjualan tanah, penukaran maupun di bebani hak tanggungan ataupun disewakan, maka bagi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri berdasarkan alasan-alasan sebagai yang tercantum dalam KUHP.sbb :

Pasal 385 KUHP yang berbunyi : Dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun  yakni :

  • * ayat 1e : Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menjual, menukar atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir, atau sesuatu rumah, tanaman atau bibit ditanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas barang itu ;
  • * ayat 2e : Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual, menukar atau menjadikan tanggungan utang suatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir atau sebuah rumah, pembuatan tanaman atau bibit ditanah orang lain tempat menjalankan hak rakyat dalam memakai tanah itu sedang tanah dan barang itu memang sudah dijadikan tanggungan utang, tetapi ia tidak memberitahukan hal itu kepada pihak yang lain;
  • * ayat 3e : Barang siapa dengan maksud yang serupa menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah atau tanah partikelir dengan menyembunyikan kepada pihak yang lain, bahwa tanah tempat orang menjalankan hak itu sudah digadaikan ;
  • * ayat 4e : Barang siapada dengan maksud yang serupa menggadaikan atau menyewakan sebidang tanah tempatorang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya, bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu ;
  • * ayat 5e : Barang siapa dengan maksud yang serupa menjual atau menukarkan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu yang telah digadaikan, tetapi tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah itu telah digadaikan;
  • * ayat 6e: Barang siapa dengan maksud yang serupa menyewakan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu untuk sesuatu masa, sedang diketahuinya bahwa tanah itu untuk masa itu juga telah disewakan kepada orang lain .

Seperti halnya contoh kasus Meruya Selatan, yakni Djuhri bin Geni, Yahya bin Geni dan M. Yatim Tugono, tiga orang makelar tanah yang bergelar mandor yang menjual tanah seluas 44 ha kepada sebuah perusahaan developer PT Portanigra pada tahun 1972 , jual beli hanya dengan girik. Namun pada tahun 1978 ketika PT Portanigra mau mengurus sertifikat ke BPN ternyata ketiga mandor telah menjual kembali tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Pada tahun itu juga Porta Nigra menggugat ketiga mandor tersebut, dan ketiga mandor tersebut divonis bersalah karena telah melakukan penggelapan dan melakukan wanprestasi.

b.  Apabila perselisihan karena ganti rugi yang kurang memadai gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri. Contoh : pembebasan tanah untuk pembuatan banjir kanal timur, jalan tol, lapindo brantas,  dan lain-lain.
                
c.   Dalam hal adanya kekeliruan prosedur dalam pemberian hak atas tanah gugatan ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Contoh :

  • 1).Pembatalan sertifikat tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atas kekeliruan pemberian sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) , dan pemberian ganti rugi. Contoh :      (a) Pembatalan sertifikat Tanah GOR Pancasila di Surabaya. (b) Pembatalan sertifikat Hak Milik Tanah di Kodya Semarang.
  • 2).Jual beli tanah dengan surat kuasa mutlak ”batal demi hukum” sbb.            

Putusan kasasi Mahkamah Agung atas kasus jual beli tanah dengan surat kuasa mutlak di Cakranegara:

Mengadili : Membatalkan Putusan Pengadilan  Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram dan Putusan Pengadilan Negeri Mataram.

Mengadili sendiri :

Dari Konpensi :                  

  • 1).Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
  • 2).Menyatakan Penggugat berhutang kepada tergugat I dan II sebesar sekian rupiah dan tanah terperkara, menjadi agunan hutang tersebut.          
  • 3).Menyatakan batal demi hukum Akte Notaris No sekian tanggal sekian tentang perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat I dan II.
  • 4)    Menyatakan batal dan tidak syah peralihan sertifikat yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat II dan III ;
  • 5)    Menyatakan tidak berkekuatan mengikat balik nama yang dilakukan Tergugat atas tanah terperkara ;
  • 6)     Menghukum tergugat III untuk mengembalikan sertifikat kepada tergugat I sebagai jaminan hutang Penggugat kepada Tergugat I.
  • 7)  Menolak gugatan Pengugat selebihnya.



TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT


A. Pengertian

1. Pengertian Jaminan.
Tanggungan atas pinjaman yang diterima atau borg. Misalnya Ia meminjam uang kepada bank dengan jaminan sebuah rumah dan sebidang tanah miliknya ; garansi misalnya ia membeli televisi dengan garansi 1 (satu) tahun ; janji misalnya seorang untuk menanggung utang atau kewajinan pihak lain apabila utang tidak terbayar.


2.    Pengertian Tanah Sebagai Jaminan Kredit.
Bahwa salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai jaminan. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun.

B. Maksud dan Tujuan Jaminan Kredit

1. Maksud Jaminan Kredit :
  • a. Untuk menghindari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur ;
  • b. Untuk menghindari resiko rugi yang akan dialami oleh pihak kreditur ;
2.  Tujuan/ Kegunaan Jaminan Kredit :
  • a. Untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dengan benda jaminan bilamana debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji ;
  • b. Memberi dorongan kepada debitur agar : betul-betul menjalankan usahanya yang dibiayai dengan kredir itu, karena bila hal tersebut diabaikan, maka resikonya hak atas tanah yang dijaminkan akan hilang ; serta betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit.

C. Pengaturan Hak Jaminan Atas Tanah dalam UUPA

UUPA telah menggariskan suatu ketentuan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha (pasal 25, 33 dan 39). Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut :
  • a.      Hak jaminan atas tanah di Negara Indonesia diberi nama “Hak Tanggungan”, yaitu suatu bentuk lembaga jaminan baru untuk menggantikan berbagai lembaga jaminan yang ada menurut ketentuan yang berlaku ;
  • b.     Hak tanggungan ini hanya dapat dibebankan pada Hak Milik, HGU dan HGB ;
  • c.      Hak Tanggungan ini akan diatur dengan suatu undang-undang tersendiri ;
Sebebelum keluarnya Undang-undang mengenai hak tanggungan peraturan yang berlaku berkaitan dengan hipotik/ Crediet verband antara lain :
  • a.      KUH Perdata Buku II Bab XXI Pasal 1162 – 1232;
  • b.     UUPA No. 5 Th . 1960 ;
  • c.     PP No : 10 Th. 1961 jo. PP 24 Th. 1997 ;
  • d.     PMA No. 15 Th. 1961 jo. PMA No. 2/ 1960 tentang Pendaftaran Hipotik ;

D. Hipotik / Credit Verband
     
1. Subyek Hipotik
  • a. Pemberi Hipotik  : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah yang dapat dibebani hipotik ;                 
  • b.   Pemegang Hipotik : pada prinsipnya setiap kreditur bisa sebagai pemegang hipotik.

2. Crediet Verband (CV) :
  • a. Pemberi CredietVerband  : mereka yang berhak sebagai pemegang hak atas tanah                  
  • b.    Pemegang CredietVerband : berdasarkan Keppres No. 14 Th. 1973 ditetapkan : Bank BNI; BBD ; BRI ; BDN dan  Bank Exim.

3. Prosedur Pembebanan Hipotik/ CV:
  • a.    Perjanjian kredit dengan Bank adanya kesanggupan untuk memberikan jaminan berupa hipotik/ CV yamg merupakan perjanjian pokok (obligatoir) ;                  
  • b.    Perjanjian pemberian hipotik/CV yang merupakan perjanjian tambahan (assesoir) yang dibuat dengan akte PPAT ;  
  • c.     Pendaftaran hipotik/CV ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya ;                          
Dengan telah didaftarkannya maka lahirlah buku tanah dan sebagai tanda buktinya dibuatlah sertifikat hipotik/ CV. Mulai saat itu kreditur mempunyai kedudukan istimewa yakni : droit de preference yaitu hak mendahului dari kreditur lain yang bukan pemegang hipotik dan droit de suit, yaitu  tanah yang telah jadi jaminan tetap dapat dilelang untuk melunasi utangnya walaupun sudah beralih kepada pihak lain.

4.Tingkatan Hipotik

Sebidang tanah dapat dibebani dengan beberapa hipotik atau dapat dijadikan jaminan untuk beberapa kreditur, sehingga dikenal tingkatan hipotik dan pemegang hipotik I, II, III dst.nya

  • 1.     Peralihan Hipotik/ CV Sebagai suatu hak atas harta kekayaan hipotik/CV dapat diperalihkan. Peralihan hak ini tidak boleh secara  mandiri tanpa memperalihkan piutangnya ;
  • 2.     Peralihan Hak Tanahnya Peralihan hak dapat dilakukan atas seijin dari preditur.
  • 3.     Surat Kuasa Memasang Hipotik/CVSurat Kuasa Memasang Hipotik kepada Kreditur harus dibuat secara otentik, sedang untuk CV dapat di bawah tangan ;
  • 4.     Esekusi Hipotik /CV:Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur berhak melakukan eksekusi atas tanah yang dijadikan jaminan.        
5. Hapusnya HipotiK
  • a. Karena hapusnya perikatan pokok ;
  • b. Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang ;       
  • c. Karena hapusnya hak atas tanahnya ;


E. Pengaturan jaminan kredit dalam UU No. 4 Th. 1996

Pelaksanaan jaminan kredit berdasarkan UU No. 4 Th. 1996 tentang Hak Tanggungan, sebetulnya tidak ada perbedaan  yang berarti dibandingkan dengan hipotik, yakni :

  • 1.     Perjanjian pemberian hipotik oleh PPAT dirubah/ diganti menjadi Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;
  • 2.     Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dirubah/ diganti menjadi Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kotamadya 
  • 3.     Pencatatan APHT pada Kantor Pertanahan ditentukan selama satu minggu
  • 4.     Kantor Pertanahan Nasional mengeluarkan Akte Hak Tanggungan
  • 5.     Prosedur dalam UU, sampai adanya penghapusan Akte Hak Tanggungan yakni apabila pembayaran kredit sudah selesai tanpa adanya wanprestasi, akte hak tanggungan dihapus dari catatan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Nasional.


 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates