Langsung ke konten utama

Postingan

Krisis Regulasi, Perppu Cipta Kerja, dan Kepastian Hukum Investasi di Indonesia

  Jaminan kepastian hukum menjadi fondasi krusial dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkelanjutan. Tanpa adanya kepastian regulasi, investor akan ragu menanamkan modalnya, baik di sektor riil maupun sektor finansial. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi persoalan klasik berupa krisis regulasi : banyak aturan yang tumpang tindih, sering berubah, dan kadang bertentangan satu sama lain. Hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost) bagi pelaku usaha. Dalam konteks inilah, lahir Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang) sebagai salah satu upaya pemerintah menyederhanakan regulasi dan memberikan kepastian hukum bagi investor. Sebagaimana pernah saya ulas dalam artikel sebelumnya tentang Kepastian Hukum sebagai Kunci Investasi , kepastian hukum tidak sekadar slogan, melainkan elemen fundamental yang sangat memengaruhi daya tarik investasi sebuah negara...

Overcrowding Lapas dan Kebijakan Pengampunan: Solusi atau Sekadar Tambal Sulam

  Salah satu alasan yang kerap digunakan pemerintah untuk memberikan grasi massal adalah overcrowding atau kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas). Fenomena ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia, efektivitas sistem pemidanaan, dan beban anggaran negara. Ketika lapas menampung penghuni dua kali lipat dari kapasitasnya, muncul berbagai dampak seperti kondisi hidup yang tidak layak, meningkatnya potensi kekerasan, serta sulitnya program rehabilitasi berjalan optimal. Pemerintah kemudian melihat grasi sebagai langkah cepat untuk mengurangi tekanan tersebut. Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah grasi memang solusi jangka panjang yang mampu menyentuh akar persoalan, atau sekadar tambal sulam sementara untuk menutup masalah sistemik yang lebih dalam? Kondisi Lapas di Indonesia Data Kemenkumham menunjukkan kapasitas lapas di Indonesia hanya mampu menampung sekitar 140 ribu orang, sementara penghuni lapas per 2025...

Membedah Perbedaan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi dalam Sistem Hukum Indonesia

  Dalam dinamika hukum Indonesia, istilah seperti grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi sering muncul bersamaan, terutama saat Presiden mengeluarkan kebijakan pengampunan. Namun, tidak jarang publik mencampuradukkan istilah-istilah tersebut. Padahal, masing-masing memiliki dasar hukum, tujuan, serta implikasi yang berbeda. Memahami perbedaan ini penting agar diskusi publik tidak bias dan keputusan negara dapat dievaluasi secara objektif. Lebih jauh, perbedaan pemaknaan ini juga memiliki konsekuensi praktis dalam penegakan hukum. Misalnya, apakah seorang terpidana korupsi berhak atas grasi atau amnesti akan berdampak pada legitimasi pemerintah dan persepsi publik terhadap keadilan. Oleh karena itu, pendahuluan ini tidak hanya menjelaskan istilah, tetapi juga menegaskan pentingnya pemahaman kritis agar masyarakat dapat mengawasi jalannya kebijakan pengampunan dengan lebih cermat dan rasional. Grasi Grasi bukan sekadar istilah pengampunan, melainkan mekanisme hukum yang sarat ma...

Grasi Massal 2025: Antara Rekonsiliasi dan Risiko Legitimasi Hukum

Pemberian grasi massal oleh Presiden pada tahun 2025 menjadi sorotan publik yang luas. Sebanyak lebih dari 1.000 narapidana, termasuk figur publik dan politikus, memperoleh pengampunan. Kebijakan ini memunculkan pro-kontra, dimana di satu sisi dipandang sebagai langkah rekonsiliasi nasional, di sisi lain menuai kritik terkait legitimasi hukum dan risiko meningkatnya residivisme. Lebih jauh, isu ini juga menyinggung pertanyaan tentang sejauh mana hukum positif dapat bersinergi dengan nurani publik, serta bagaimana transparansi kebijakan mampu menjaga rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah secara lebih mendalam landasan hukum, tujuan politik, dan implikasi sosial dari kebijakan tersebut. Bagaimana seharusnya publik memahami hal ini dalam kacamata hukum dan keadilan sosial. Dasar Hukum Grasi Secara konstitusional, grasi diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi grasi. Lebih lanjut, mekanisme pemberian grasi dia...

Krisis Legitimasi Hukum di Era Digital: Antara Transparansi dan Polarisasi Publik

  Krisis Legitimasi Hukum di Era Digital: Antara Transparansi dan Polarisasi Publik Pendahuluan Era digital telah mengubah wajah penegakan hukum di Indonesia secara signifikan. Proses yang dulu hanya diketahui oleh kalangan terbatas kini dapat diakses secara luas, bahkan nyaris tanpa batas ruang dan waktu. Publik kini bisa memantau jalannya sidang, membaca dokumen putusan, hingga memberikan opini melalui media sosial. Hal ini menciptakan ruang baru bagi keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya hukum, sekaligus membentuk persepsi kolektif tentang keadilan. Transparansi ini tentu menjadi tonggak penting menuju sistem hukum yang lebih akuntabel, tetapi di sisi lain juga menghadirkan problem baru: trial by social media yang sering kali mendistorsi makna keadilan dengan menekankan aspek popularitas dibanding substansi hukum. Dalam konteks inilah krisis legitimasi hukum semakin terasa, terutama ketika persepsi publik lebih dominan daripada pijakan normatif yang ada dalam hukum p...

Keadilan Prosedural vs. Keadilan Substantif: Dilema di Pengadilan Indonesia

  Keadilan Prosedural vs. Keadilan Substantif: Dilema di Pengadilan Indonesia Pendahuluan Dalam banyak perkara hukum di Indonesia, hakim sering dihadapkan pada dilema besar, apakah harus menegakkan hukum sesuai prosedur formal yang kaku ataukah menggali lebih jauh demi menghadirkan substansi keadilan yang sesungguhnya. Pertanyaan ini bukan sekadar teori, tetapi realitas sehari-hari di pengadilan. Di satu sisi, hukum hadir untuk memberikan kepastian dan prediktabilitas, tetapi di sisi lain, masyarakat mendambakan putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang hidup di tengah publik. Persoalan ini menuntut keberanian, kebijaksanaan, dan sensitivitas sosial dari para penegak hukum. Lebih jauh, dilema ini juga menggambarkan wajah hukum kita yang kerap berhadapan dengan ekspektasi publik, dinamika sosial, serta perubahan zaman. Dengan demikian, perbincangan mengenai keadilan prosedural dan substantif tidak hanya relevan bagi praktisi hukum, tetapi juga penting bagi masyarakat luas untu...

Menggali Kembali Makna Keadilan: Antara Hukum Positif dan Nurani Publik

  Menggali Kembali Makna Keadilan: Antara Hukum Positif dan Nurani Publik Pendahuluan Keadilan sering dipahami sebagai tujuan akhir hukum. Namun dalam praktik, keadilan tidak selalu hadir dalam putusan yang berlandaskan hukum positif . Ada jarak antara kepastian hukum dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Artikel ini mengajak refleksi tentang bagaimana hukum positif dan nurani publik sering kali berjalan di jalur yang tidak selalu seiring. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai kasus kontroversial yang menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Ketika masyarakat menuntut keadilan substantif , sering kali mereka menemukan bahwa hukum positif justru hanya menghadirkan keadilan prosedural semata. Inilah yang melahirkan ketegangan, bahkan krisis legitimasi , antara teks hukum dan rasa keadilan sosial . Lebih jauh, pendahuluan ini ingin membuka ruang renungan bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipandang sebagai seperangkat aturan, tetapi juga sebagai refleksi dari nilai ...