Jaminan kepastian hukum menjadi fondasi krusial dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkelanjutan. Tanpa adanya kepastian regulasi, investor akan ragu menanamkan modalnya, baik di sektor riil maupun sektor finansial. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi persoalan klasik berupa krisis regulasi: banyak aturan yang tumpang tindih, sering berubah, dan kadang bertentangan satu sama lain. Hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost) bagi pelaku usaha. Dalam konteks inilah, lahir Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang) sebagai salah satu upaya pemerintah menyederhanakan regulasi dan memberikan kepastian hukum bagi investor.
Sebagaimana pernah saya ulas dalam
artikel sebelumnya tentang Kepastian Hukum sebagai Kunci Investasi,
kepastian hukum tidak sekadar slogan, melainkan elemen fundamental yang sangat
memengaruhi daya tarik investasi sebuah negara. Oleh sebab itu, penting untuk
mengurai bagaimana krisis regulasi masih menghantui, dan sejauh mana Perppu
Cipta Kerja mampu memberikan jawaban.
Krisis Regulasi dan Biaya
Ketidakpastian
Indonesia dikenal memiliki over-regulated
legal system, di mana banyak aturan diterbitkan tanpa koordinasi lintas
sektor. Hal ini menyebabkan overlapping regulations yang kerap
membingungkan investor. Misalnya, dalam sektor pertambangan dan energi,
terdapat aturan dari kementerian teknis yang sering kali berbeda tafsir dengan
peraturan daerah. Akibatnya, perusahaan mengalami hambatan birokrasi dan
menghadapi risiko hukum yang tidak terduga.
Kondisi ini berdampak langsung pada biaya
kepatuhan. Investor harus mengeluarkan sumber daya tambahan hanya untuk
memastikan kegiatan usahanya tidak melanggar aturan. Alih-alih memberikan
kepastian, regulasi yang tumpang tindih justru menciptakan ketidakpastian yang
kontraproduktif terhadap iklim investasi.
Perppu Cipta Kerja: Solusi atau
Kontroversi?
Perppu Cipta Kerja lahir dengan
klaim untuk menyederhanakan ribuan regulasi yang tersebar di berbagai sektor.
Pemerintah berargumen bahwa deregulasi ini dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas
investasi, terutama setelah Indonesia menghadapi dampak pandemi dan tekanan
ekonomi global.
Namun, langkah ini tidak lepas dari
kontroversi. Dari sisi substansi, ada pandangan kritis bahwa Perppu Cipta Kerja
lebih menitikberatkan pada kemudahan bagi investor, sementara isu perlindungan
tenaga kerja dan lingkungan dianggap belum mendapat perhatian proporsional.
Dari sisi formil, penerbitan Perppu juga diperdebatkan karena dinilai tidak memenuhi
syarat kegentingan sebagaimana diatur Pasal 22 UUD 1945.
Di sisi lain, bagi investor asing,
Perppu Cipta Kerja tetap dipandang sebagai sinyal positif bahwa pemerintah
serius menata regulasi investasi. Kemudahan perizinan, kejelasan aturan
ketenagakerjaan, serta konsistensi regulasi lintas sektor menjadi faktor
penting yang membuat modal asing semakin tertarik masuk ke Indonesia.
Dimensi Kepastian Hukum dan
Investasi Asing
Untuk investor asing, pertimbangan
utama sebelum menanamkan modal di suatu negara adalah adanya kepastian hukum
serta konsistensi kebijakan yang dapat diprediksi. Tanpa keduanya,
risiko berusaha menjadi terlalu tinggi. Dalam konteks ini, Perppu Cipta Kerja
diharapkan dapat memperkuat kepastian hukum dengan memangkas regulasi yang
berbelit-belit.
Namun, pertanyaan yang masih
mengemuka adalah apakah implementasi di lapangan sudah konsisten dengan
semangat deregulasi. Banyak laporan menyebutkan bahwa meskipun aturan formal
sudah dipangkas, praktik birokrasi di daerah masih menyisakan hambatan. Ini
menunjukkan bahwa kepastian hukum bukan hanya persoalan teks regulasi, tetapi
juga soal penegakan hukum yang konsisten dan integritas birokrasi.
Refleksi dan Rekomendasi
Melihat perkembangan ini, dapat
disimpulkan bahwa Perppu Cipta Kerja merupakan langkah progresif, namun belum
dapat dianggap sebagai solusi tuntas terhadap persoalan krisis regulasi. Ada
beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan:
- Harmonisasi Regulasi
– Pemerintah dituntut memastikan keselarasan antara aturan pusat dan
daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih regulasi yang menimbulkan
kebingungan bagi pelaku usaha. Mekanisme regulatory review perlu
dilakukan secara berkala, tidak hanya untuk menyesuaikan aturan baru,
tetapi juga mengevaluasi aturan lama yang sudah tidak relevan. Dengan cara
ini, regulasi dapat tetap adaptif terhadap perkembangan ekonomi dan
teknologi, sekaligus menekan biaya kepatuhan bagi investor.
- Transparansi dan Partisipasi Publik – Penyusunan regulasi investasi harus melibatkan
pemangku kepentingan, termasuk serikat pekerja, masyarakat sipil,
akademisi, dan pelaku usaha agar tidak menimbulkan resistensi sosial.
Proses yang terbuka memungkinkan adanya kritik, masukan, dan evaluasi
sejak awal sehingga regulasi yang dihasilkan lebih legitimate dan diterima
luas. Selain itu, partisipasi publik juga memperkuat rasa memiliki
terhadap regulasi, mengurangi potensi sengketa, serta meningkatkan
kepercayaan investor terhadap konsistensi kebijakan.
- Penguatan Penegakan Hukum – Kepastian hukum hanya bisa terwujud bila aparat
penegak hukum konsisten, tidak diskriminatif, dan bebas dari korupsi. Hal
ini membutuhkan pembenahan menyeluruh, mulai dari peningkatan kapasitas
dan integritas aparat, penerapan sanksi tegas bagi pelanggar hukum, hingga
pengawasan independen untuk memastikan tidak ada praktik penyalahgunaan
wewenang. Penegakan hukum yang kuat dan transparan akan memberikan rasa
aman bagi investor, sekaligus membangun kepercayaan publik bahwa regulasi
dijalankan dengan adil dan konsisten.
- Edukasi Publik
– Kebingungan publik mengenai perbedaan instrumen hukum dan dampaknya pada
investasi harus dijawab dengan sosialisasi yang lebih masif. Edukasi ini
tidak cukup hanya melalui regulasi tertulis, tetapi juga lewat forum
diskusi, seminar, media digital, dan pelatihan khusus bagi pelaku usaha
maupun masyarakat luas. Dengan adanya program edukasi yang
berkesinambungan, masyarakat didorong untuk memahami inti dari setiap
kebijakan, mengenali perbedaan instrumen hukum seperti grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi, serta menelaah dampaknya terhadap iklim
investasi secara lebih kritis. Selain itu, pemahaman yang baik akan
memperkecil ruang spekulasi, mengurangi resistensi sosial, dan
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawal regulasi
investasi.
Kesimpulan
Krisis regulasi adalah persoalan nyata yang masih menghambat iklim investasi di
Indonesia. Perppu Cipta Kerja merupakan upaya ambisius pemerintah untuk
menyederhanakan aturan dan memberi kepastian hukum, tetapi efektivitasnya masih
bergantung pada implementasi dan penegakan hukum di lapangan. Oleh karena itu,
penyelesaian masalah regulasi harus ditempuh dengan pendekatan menyeluruh:
harmonisasi aturan pusat dan daerah, transparansi serta partisipasi publik,
penegakan hukum yang konsisten dan bebas korupsi, serta edukasi publik yang
berkesinambungan. Pada akhirnya, kepastian hukum tetap menjadi fondasi utama
stabilitas investasi. Jika regulasi konsisten, birokrasi bersih, dan kebijakan
pro-investasi dijalankan tanpa mengorbankan perlindungan tenaga kerja serta
lingkungan, Indonesia dapat memperkuat daya saingnya di kancah global.
Sebagaimana saya tekankan dalam artikel Kepastian Hukum sebagai Kunci Investasi,
tanpa kepastian hukum, investasi hanya akan menjadi wacana yang rapuh.
Komentar