Krisis Legitimasi Hukum di Era Digital: Antara Transparansi dan Polarisasi Publik
Pendahuluan
Era digital telah mengubah wajah penegakan hukum di Indonesia secara signifikan. Proses yang dulu hanya diketahui oleh kalangan terbatas kini dapat diakses secara luas, bahkan nyaris tanpa batas ruang dan waktu. Publik kini bisa memantau jalannya sidang, membaca dokumen putusan, hingga memberikan opini melalui media sosial. Hal ini menciptakan ruang baru bagi keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya hukum, sekaligus membentuk persepsi kolektif tentang keadilan. Transparansi ini tentu menjadi tonggak penting menuju sistem hukum yang lebih akuntabel, tetapi di sisi lain juga menghadirkan problem baru:
trial by social media yang sering kali mendistorsi makna keadilan dengan menekankan aspek popularitas dibanding substansi hukum. Dalam konteks inilah krisis legitimasi hukum semakin terasa, terutama ketika persepsi publik lebih dominan daripada pijakan normatif yang ada dalam
hukum positif.
Transparansi sebagai Tuntutan
Keterbukaan informasi hukum di era digital membuat aparat penegak hukum harus bekerja dengan kehati-hatian ekstra. Kesalahan kecil dapat dengan cepat viral dan menurunkan kepercayaan masyarakat. Transparansi yang idealnya menjadi sarana kontrol publik justru dapat berubah menjadi alat perburukan citra apabila tidak dibarengi dengan
literasi hukum. Akuntabilitas aparat hukum kini bukan hanya soal kebenaran hukum formal, tetapi juga soal menjaga legitimasi di mata publik yang semakin kritis. Di titik ini, transparansi bukan lagi pilihan, melainkan tuntutan yang melekat pada praktik penegakan hukum modern. Aparat tidak cukup hanya menyajikan prosedur hukum yang benar, tetapi juga perlu memastikan proses itu dapat dipahami, dipantau, dan diyakini oleh masyarakat luas. Dengan begitu, transparansi berfungsi ganda: sebagai instrumen pengawasan sekaligus sebagai jembatan komunikasi antara hukum positif dan ekspektasi publik.
Polarisasi Opini Publik
Media sosial memunculkan arena baru bagi perdebatan hukum. Putusan pengadilan tidak hanya diperdebatkan dalam ruang sidang, melainkan juga di ruang digital yang penuh dengan dinamika opini. Fenomena
echo chamber memperparah keadaan: masyarakat cenderung hanya mengonsumsi informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, opini publik sering kali lebih berpengaruh terhadap legitimasi hukum dibandingkan hukum positif itu sendiri. Hal ini menimbulkan dilema: apakah keadilan harus tunduk pada nurani publik, atau tetap berdiri pada pondasi hukum formal yang kadang dianggap kering dan prosedural.
Dalam konteks ini, polarisasi bukan hanya soal perbedaan pandangan, tetapi juga menyangkut risiko legitimasi yang melemah ketika hukum dipersepsikan tidak sejalan dengan suara mayoritas. Tantangannya, hakim dan aparat hukum perlu menjaga keseimbangan: tidak larut pada tekanan opini, tetapi juga tidak menutup mata dari aspirasi publik yang kian vokal di ruang digital. Polarisasi opini publik karenanya menjadi cermin bagi sistem hukum untuk terus berbenah, agar mampu menjaga kewibawaan sekaligus menguatkan kepercayaan masyarakat di era keterbukaan informasi.
Refleksi: Antara Prosedural dan Substantif
Era digital menuntut hukum untuk adaptif. Di satu sisi, keadilan prosedural tetap penting untuk menjaga kepastian hukum, namun di sisi lain publik juga menuntut keadilan substantif yang sesuai dengan rasa
keadilan sosial. Dilema hakim dan aparat hukum semakin kompleks: mereka harus menyeimbangkan antara aturan formal dengan ekspektasi publik. Krisis legitimasi ini menunjukkan perlunya integrasi antara hukum positif dan nurani publik, sehingga putusan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima secara moral dan sosial.
Lebih jauh, polarisasi publik di ruang digital menambah lapisan tantangan baru. Hakim tidak hanya dihadapkan pada teks hukum, tetapi juga harus mampu membaca sensitivitas sosial yang muncul dari derasnya arus informasi. Ketika publik terbelah dalam menafsirkan keadilan, tugas aparat hukum bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi juga merawat kohesi sosial melalui keputusan yang komunikatif, transparan, dan mampu memberikan alasan yang dapat dipahami masyarakat. Dalam refleksi ini, keadilan prosedural dan substantif tidak boleh diposisikan sebagai kutub yang saling menegasikan, melainkan sebagai dua pilar yang harus dirangkai agar legitimasi hukum tetap terjaga di era digital yang serba terbuka.
👉 Artikel terkait: Makna Keadilan: Hukum Positif vs Nurani Publik dan Keadilan Prosedural vs. Keadilan Substantif
Penutup
Krisis legitimasi hukum di era digital bukan sekadar tantangan, tetapi juga peluang. Transparansi harus diiringi dengan peningkatan literasi hukum masyarakat agar opini publik tidak hanya didasarkan pada viralitas, tetapi pada pemahaman yang kritis. Polarisasi opini dapat diminimalisasi jika masyarakat mampu membedakan antara fakta hukum dan opini emosional. Pada akhirnya, legitimasi hukum tidak cukup hanya bertumpu pada kekuatan hukum positif, melainkan juga pada penerimaan publik. Era digital mengajarkan bahwa keadilan sejati adalah ketika hukum mampu menjaga integritas prosedural sekaligus menjawab kebutuhan moral masyarakat.
Lebih jauh, penegakan hukum yang terbuka dan adaptif akan menentukan tingkat kepercayaan masyarakat. Aparat hukum dituntut untuk tidak hanya menegakkan teks undang-undang, tetapi juga membangun komunikasi hukum yang transparan, jelas, dan relevan dengan aspirasi publik. Kesadaran bahwa publik kini menjadi aktor aktif dalam membentuk legitimasi menuntut adanya inovasi dalam mekanisme pengadilan dan penyampaian putusan.
Dengan demikian, krisis legitimasi dapat diubah menjadi momentum perbaikan sistem hukum yang lebih responsif, humanis, dan relevan dengan tantangan zaman. Ia menjadi ajakan bagi semua pemangku kepentingan untuk menjadikan hukum sebagai sarana yang bukan hanya mengikat secara normatif, tetapi juga menumbuhkan rasa keadilan substantif dalam kehidupan bermasyarakat.
Komentar