Keadilan Prosedural vs. Keadilan Substantif: Dilema di Pengadilan Indonesia
Pendahuluan
Dalam banyak perkara hukum di Indonesia, hakim sering dihadapkan pada dilema besar, apakah harus menegakkan hukum sesuai prosedur formal yang kaku ataukah menggali lebih jauh demi menghadirkan
substansi keadilan yang sesungguhnya. Pertanyaan ini bukan sekadar teori, tetapi realitas sehari-hari di pengadilan. Di satu sisi, hukum hadir untuk memberikan kepastian dan prediktabilitas, tetapi di sisi lain, masyarakat mendambakan putusan yang mencerminkan
rasa keadilan yang hidup di tengah publik. Persoalan ini menuntut keberanian, kebijaksanaan, dan sensitivitas sosial dari para penegak hukum. Lebih jauh, dilema ini juga menggambarkan wajah hukum kita yang kerap berhadapan dengan ekspektasi publik, dinamika sosial, serta perubahan zaman. Dengan demikian, perbincangan mengenai
keadilan prosedural dan substantif tidak hanya relevan bagi praktisi hukum, tetapi juga penting bagi masyarakat luas untuk memahami bagaimana hukum bekerja dan apa yang menjadi tantangannya dalam menjaga legitimasi dan kepercayaan publik.
Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural menekankan bahwa hukum ditegakkan sesuai dengan aturan main formal, baik dalam bentuk undang-undang maupun prosedur peradilan. Keunggulan dari pendekatan ini adalah kepastian hukum yang kuat, dimana setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan prosedur menjadi pegangan yang jelas. Namun, kekurangannya terletak pada sifatnya yang kering. Kadang, keadilan prosedural gagal menangkap
dimensi kemanusiaan suatu perkara, sehingga putusan terasa jauh dari rasa keadilan publik. Lebih jauh lagi, penekanan pada proseduralisme yang berlebihan dapat menciptakan jarak antara pengadilan dengan masyarakat, karena publik sering menilai hasil akhir semata dari rasa keadilan yang dirasakan, bukan sekadar kelengkapan proses formal. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk tidak hanya melihat prosedur sebagai tujuan akhir, tetapi juga sebagai sarana menuju tercapainya keadilan yang lebih menyeluruh.
Keadilan Substantif
Berbeda dengan prosedural,
keadilan substantif berfokus pada
kebenaran materiil dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Contohnya, hakim yang memberikan putusan dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi terdakwa atau dampak sosial dari perkara tertentu, meski sedikit menyimpang dari formalitas hukum. Pendekatan ini berupaya agar putusan hukum tidak hanya sah secara prosedur, tetapi juga terasa adil bagi pihak-pihak yang terdampak. Selain itu, keadilan substantif juga menekankan agar hukum mampu menjawab kebutuhan sosial yang berkembang dan tidak terjebak pada teks normatif semata. Dalam praktik, hal ini seringkali menjadi jembatan agar masyarakat tetap percaya pada
legitimasi peradilan, karena putusan yang dihasilkan dianggap menyentuh nurani publik dan tidak hanya sekadar formalitas yuridis.
Dilema Hakim
Hakim sering dituntut untuk menyeimbangkan keduanya. Terlalu terpaku pada prosedural berisiko mengabaikan nilai-nilai keadilan, sementara terlalu mengedepankan substantif dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan tuduhan pelanggaran asas legalitas. Inilah titik kritis yang membuat profesi hakim sarat tanggung jawab moral, karena setiap putusan bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga membentuk
legitimasi hukum di mata masyarakat. Dilema ini semakin nyata ketika hakim berhadapan dengan perkara yang penuh dimensi sosial, budaya, maupun politik. Hakim dituntut untuk tidak hanya menjadi corong undang-undang, tetapi juga penjaga nurani publik yang mengharapkan putusan adil dan berimbang. Dengan kata lain, setiap putusan adalah cermin keseimbangan antara teks hukum dan rasa keadilan masyarakat luas.
Keadilan di Era Digital
Dalam konteks era digital, dilema ini semakin kompleks. Perkara-perkara seperti pencemaran nama baik di media sosial, perlindungan data pribadi, hingga transaksi digital seringkali tidak sepenuhnya diatur secara detail dalam
hukum positif. Hakim dituntut untuk lebih progresif menafsirkan hukum, sehingga keadilan substantif dapat hadir tanpa mengorbankan prinsip kepastian hukum. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam menjaga legitimasi hukum, di mana publik lebih kritis dan transparansi peradilan semakin dituntut.
Refleksi
Masyarakat berharap pengadilan menjadi tempat bertemunya hukum dengan keadilan, bukan sekadar arena formalitas prosedur. Untuk itu, hakim perlu memiliki keberanian moral untuk menggali nilai-nilai keadilan substantif, tanpa melupakan kerangka prosedural sebagai pagar. Inilah seni menyeimbangkan hukum dan nurani yang menentukan wajah keadilan di Indonesia. Lebih jauh, dilema hakim dalam menghadapi tuntutan prosedur versus substansi memperlihatkan betapa berat tanggung jawab yang diemban. Hakim seringkali harus menghadapi kritik publik ketika putusan dianggap tidak adil secara moral meskipun sudah sah secara hukum. Pada titik inilah refleksi tentang integritas, kebijaksanaan, dan kepekaan sosial menjadi sangat penting agar pengadilan tidak terjebak dalam formalitas kosong, melainkan mampu menjadi jembatan antara teks hukum dan rasa keadilan masyarakat luas.
👉 Artikel terkait: Makna Keadilan: Hukum Positif vs Nurani Publik dan Krisis Legitimasi Hukum di Era Digital. Kedua artikel ini saling melengkapi pembahasan, karena mengulas bagaimana benturan antara hukum positif dan nurani publik, serta tantangan legitimasi hukum di tengah era digital yang semakin kritis. Dengan membaca keduanya, pembaca dapat memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang konteks dilema keadilan prosedural dan substantif yang dibahas di atas.
Penutup
Pada akhirnya, dilema antara keadilan prosedural dan substantif adalah realitas yang akan selalu hadir dalam praktik hukum di Indonesia. Keadilan tidak bisa direduksi hanya pada prosedur, tetapi juga tidak boleh dibiarkan lepas dari kerangka hukum formal. Jalan tengahnya terletak pada kemampuan hakim dan penegak hukum untuk menghadirkan hukum yang hidup, hukum yang tidak sekadar tertulis di atas kertas, tetapi juga menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, pengadilan dapat terus menjaga kepercayaan publik, sekaligus menjawab tantangan zaman di tengah krisis legitimasi hukum yang semakin nyata.
Lebih dari itu, kesadaran akan dilema ini mengingatkan kita bahwa hukum selalu beroperasi dalam konteks sosial yang dinamis. Hakim dituntut tidak hanya memahami teks hukum, tetapi juga membaca realitas masyarakat dengan jeli. Ketika hukum mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan pijakan proseduralnya, maka legitimasi dan kepercayaan publik akan semakin kokoh. Hal ini penting karena di tengah derasnya arus digitalisasi dan keterbukaan informasi, masyarakat semakin kritis menilai setiap putusan pengadilan.
Dengan refleksi ini, kita diajak melihat hukum bukan hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai sarana sosial yang membentuk tatanan masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan beradab. Pada titik inilah, peran pengadilan menjadi penentu apakah hukum dapat terus relevan dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Dengan menjaga keseimbangan antara prosedur dan substansi, hukum dapat menjadi penopang keadilan yang tidak hanya sah secara formal, tetapi juga benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Komentar