Langsung ke konten utama

Overcrowding Lapas dan Kebijakan Pengampunan: Solusi atau Sekadar Tambal Sulam

 

Foto ilustrasi lapas penuh sesak dengan narapidana di balik jeruji besi

Salah satu alasan yang kerap digunakan pemerintah untuk memberikan grasi massal adalah overcrowding atau kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas). Fenomena ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia, efektivitas sistem pemidanaan, dan beban anggaran negara. Ketika lapas menampung penghuni dua kali lipat dari kapasitasnya, muncul berbagai dampak seperti kondisi hidup yang tidak layak, meningkatnya potensi kekerasan, serta sulitnya program rehabilitasi berjalan optimal. Pemerintah kemudian melihat grasi sebagai langkah cepat untuk mengurangi tekanan tersebut. Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah grasi memang solusi jangka panjang yang mampu menyentuh akar persoalan, atau sekadar tambal sulam sementara untuk menutup masalah sistemik yang lebih dalam?
Kondisi Lapas di Indonesia
Data Kemenkumham menunjukkan kapasitas lapas di Indonesia hanya mampu menampung sekitar 140 ribu orang, sementara penghuni lapas per 2025 mencapai lebih dari 250 ribu. Artinya, tingkat hunian sudah melebihi hampir dua kali lipat kapasitas yang tersedia. Kondisi ini jelas menimbulkan berbagai persoalan serius yang saling berkaitan, mulai dari kemerosotan kualitas hidup narapidana, terbatasnya akses layanan kesehatan dan pembinaan, hingga potensi meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia. Kepadatan ini menimbulkan kondisi hidup tak layak, rentan penyakit, gangguan keamanan karena pengawasan minim dan beban anggaran negara semakin berat.
Grasi Sebagai Jalan Cepat
Pemerintah berargumen bahwa grasi bisa mengurangi beban lapas dalam waktu singkat, menjadi bentuk humanisasi hukum, sekaligus meringankan beban negara. Narasi ini sering dipakai untuk menegaskan sisi positif dari kebijakan pengampunan. Overcrowding lapas kerap dijadikan dasar pemberian grasi massal 2025, meski efektivitasnya masih dipertanyakan. Dalam jangka pendek, grasi memang dapat menurunkan jumlah penghuni lapas secara signifikan dan mengurangi tekanan biaya operasional. Namun, tanpa disertai reformasi menyeluruh, solusi ini ibarat menurunkan air di permukaan tanpa menyentuh sumber kebocoran. Oleh karena itu, kebijakan grasi harus dipahami sebagai langkah sementara yang harus diikuti dengan strategi struktural jangka panjang, seperti dekriminalisasi tindak pidana ringan, penerapan restorative justice, hingga peningkatan kapasitas lapas. Dengan pendekatan komprehensif, grasi tidak sekadar menjadi kebijakan reaktif, melainkan bagian dari transformasi sistem pemidanaan.
Alternatif Kebijakan
  1. Dekriminalisasi Tindak Pidana Ringan: Misalnya kasus narkotika kategori pengguna, lebih baik diarahkan ke rehabilitasi. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi beban lapas, tetapi juga lebih efektif dalam menekan angka residivisme. Dengan mengarahkan pelaku ke jalur rehabilitasi medis maupun sosial, negara menekankan aspek pemulihan dibanding pemidanaan. Hal ini sekaligus memperbaiki efektivitas kebijakan pemasyarakatan, karena lapas dapat fokus pada narapidana dengan tindak pidana berat, sementara pelaku ringan memperoleh kesempatan untuk pulih dan kembali produktif di masyarakat.
  2. Diversi dan Restorative Justice: Terutama untuk tindak pidana anak atau kejahatan ringan. Pendekatan ini bertujuan mengalihkan perkara dari jalur peradilan formal menuju penyelesaian di luar pengadilan dengan menekankan pemulihan, tanggung jawab, dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Dengan penerapan diversi, anak yang berkonflik dengan hukum tidak serta-merta dimasukkan ke lapas, melainkan diarahkan pada pembinaan, konseling, atau mediasi. Restorative justice juga memberi ruang bagi korban untuk memperoleh keadilan yang lebih personal, sementara pelaku diberi kesempatan memperbaiki kesalahannya tanpa menanggung stigma sosial berlebihan.
  3. Peningkatan Infrastruktur Lapas: Penambahan fasilitas harus dibarengi dengan manajemen yang lebih baik, termasuk pengelolaan kapasitas hunian, distribusi napi sesuai tingkat risiko, dan peningkatan kualitas layanan kesehatan serta program pembinaan. Tanpa manajemen modern dan pengawasan yang transparan, pembangunan infrastruktur baru hanya akan menambah gedung tanpa menyelesaikan akar masalah overcrowding.
Kesimpulan
Overcrowding lapas adalah persoalan nyata yang butuh solusi struktural. Grasi bisa jadi jalan cepat, tetapi bukan strategi jangka panjang. Pemerintah harus berani menata ulang kebijakan pemidanaan agar lapas benar-benar berfungsi sebagai tempat rehabilitasi, bukan sekadar penampungan massal. Selain itu, situasi ini tak lepas dari kebingungan publik soal perbedaan grasi, amnesti,abolisi, dan rehabilitasi dalam hukum Indonesia. Oleh karena itu, transparansi informasi dan edukasi publik mengenai instrumen hukum ini menjadi penting agar kebijakan pengampunan tidak menimbulkan salah persepsi atau bahkan krisis legitimasi. Dalam kerangka ini, penting juga untuk menyadari bahwa perbaikan sistem pemidanaan membutuhkan kombinasi antara kebijakan pengampunan, reformasi hukum, dan pembangunan kapasitas institusional. Tanpa langkah terpadu, grasi hanya akan menjadi solusi parsial yang tidak menyentuh akar masalah. Ke depan, pemerintah perlu mengedepankan strategi yang lebih menyeluruh seperti memperluas alternatif pemidanaan, memperkuat program rehabilitasi, serta menjadikan lapas sebagai sarana pemulihan sosial. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya memahami perbedaan konseptual grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, tetapi juga melihat arah kebijakan yang konsisten untuk menegakkan keadilan sekaligus menjaga legitimasi hukum.

Komentar