Langsung ke konten utama

Grasi Massal 2025: Antara Rekonsiliasi dan Risiko Legitimasi Hukum

Ilustrasi palu hakim dengan bayangan jeruji besi, simbol grasi massal 2025 di Indonesia
Pemberian grasi massal oleh Presiden pada tahun 2025 menjadi sorotan publik yang luas. Sebanyak lebih dari 1.000 narapidana, termasuk figur publik dan politikus, memperoleh pengampunan. Kebijakan ini memunculkan pro-kontra, dimana di satu sisi dipandang sebagai langkah rekonsiliasi nasional, di sisi lain menuai kritik terkait legitimasi hukum dan risiko meningkatnya residivisme. Lebih jauh, isu ini juga menyinggung pertanyaan tentang sejauh mana hukum positif dapat bersinergi dengan nurani publik, serta bagaimana transparansi kebijakan mampu menjaga rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah secara lebih mendalam landasan hukum, tujuan politik, dan implikasi sosial dari kebijakan tersebut. Bagaimana seharusnya publik memahami hal ini dalam kacamata hukum dan keadilan sosial.

Dasar Hukum Grasi

Secara konstitusional, grasi diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi grasi. Lebih lanjut, mekanisme pemberian grasi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan perubahan yang disahkan melalui UU No. 5 Tahun 2010. Pemberian grasi berbeda dengan amnesti maupun abolisi, bahwa grasi lebih menyasar kepada individu terpidana dengan pertimbangan kemanusiaan, kesehatan, atau kepentingan politik tertentu. Selain itu, Mahkamah Agung memiliki peran memberikan pertimbangan sebelum Presiden mengambil keputusan, sehingga pemberian grasi bukan sekadar kewenangan tunggal tetapi tetap melalui proses konstitusional. Dalam praktik akademik, sejumlah kajian hukum menekankan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan hak prerogatif ini agar tidak dipersepsikan sebagai langkah politis semata, melainkan sebagai instrumen kemanusiaan yang selaras dengan prinsip keadilan sosial.

Artinya, secara hukum formal, Presiden sah memberikan grasi massal ini. Namun, muncul pertanyaan apakah alasan di baliknya cukup transparan, pertanyaan ini penting karena legitimasi hukum tidak hanya diukur dari terpenuhinya prosedur formil, tetapi juga dari sejauh mana publik memahami dasar pertimbangannya. Sejumlah pakar hukum menekankan bahwa transparansi dalam pemberian grasi merupakan syarat etis sekaligus praktis untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam literatur akademik, grasi dipandang sebagai instrumen hukum yang harus ditempatkan dalam kerangka keadilan restoratif, bukan sekadar hak prerogatif eksekutif. Dengan demikian, meskipun sah secara formal, substansi alasan dan proses di balik grasi massal ini perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan persepsi bahwa kebijakan tersebut hanya bermuatan politis. Di sinilah penting untuk juga membedah perbedaan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dalam sistem hukum Indonesia. Keempat instrumen ini sering kali dipersepsikan sama, padahal masing-masing memiliki dasar hukum, ruang lingkup, dan tujuan yang berbeda. Pemahaman publik atas perbedaan tersebut akan membantu melihat kebijakan ini secara lebih proporsional dan kritis.

Tujuan Rekonsiliasi dan Reintegrasi Sosial

Pendukung kebijakan ini melihat grasi sebagai langkah penting untuk mencapai tujuan rekonsiliasi dan reintegrasi sosial, serta:

1.      Mengurangi Overcrowding Lapas, kapasitas penjara di Indonesia sering melebihi daya tampung. Salah satu alasan utama pemerintah memberikan grasi massal adalah kondisi overcrowding lapas yang kian parah, sehingga pengampunan dipandang sebagai langkah darurat untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan sekaligus membuka ruang bagi perbaikan sistem pembinaan napi.

2.      Rekonsiliasi Nasional, terutama terhadap napi politik, yang dianggap bisa kembali berkontribusi bagi bangsa. Selain itu, tujuan rekonsiliasi juga diarahkan untuk meredakan ketegangan politik, memperkuat persatuan, serta memberikan kesempatan reintegrasi sosial bagi kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dari kehidupan berbangsa.

3.      Efisiensi Anggaran Negara, semakin sedikit napi, semakin ringan beban biaya negara. Dalam konteks ini, grasi dipandang juga sebagai langkah praktis untuk mengurangi tekanan terhadap APBN, khususnya biaya pemeliharaan napi yang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan berkurangnya jumlah penghuni lapas, anggaran dapat dialihkan untuk program pembinaan, reintegrasi sosial, maupun peningkatan fasilitas lembaga pemasyarakatan agar lebih manusiawi.

Dari perspektif ini, grasi dipandang positif dan humanis, karena membuka peluang bagi narapidana untuk kembali berintegrasi ke dalam masyarakat, memulihkan relasi sosial yang sempat rusak, serta memberikan kesempatan kedua untuk berkontribusi secara konstruktif. Rekonsiliasi yang tercipta tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga praktikal dalam membangun kembali kepercayaan, mengurangi stigma sosial, dan memperkuat kohesi sosial dalam kehidupan berbangsa.

Risiko Legitimasi Hukum
Risiko legitimasi hukum dalam konteks grasi massal tidak bisa dipandang remeh. Jika grasi diberikan tanpa dasar pertimbangan yang jelas dan transparan, publik dapat menilai bahwa hukum telah kehilangan independensinya dan hanya menjadi instrumen politik. Hal ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, memperlemah prinsip kepastian hukum, dan menimbulkan persepsi ketidakadilan sosial. Lebih jauh, risiko ini bisa memicu krisis legitimasi hukum di mana masyarakat mempertanyakan otoritas serta moralitas keputusan negara. Dari sudut praktis, pemerintah perlu mengantisipasi hal ini dengan menyusun pedoman yang lebih rinci tentang kriteria pemberian grasi, mempublikasikan data secara terbuka, dan melibatkan lembaga pengawas independen. Langkah-langkah ini akan membantu menjaga legitimasi hukum, sekaligus memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa grasi benar-benar berorientasi pada kemanusiaan dan keadilan, bukan sekadar kepentingan politik. Namun, selain peluang rekonsiliasi yang ditawarkan, kebijakan ini juga menyimpan risiko yang harus dikelola dengan hati-hati, agar manfaat sosial tidak justru berubah menjadi sumber ketidakpercayaan baru terhadap sistem hukum.
Kesimpulan
Grasi Massal 2025 adalah momentum penting dalam politik hukum Indonesia. Namun, agar tidak menjadi bumerang bagi legitimasi hukum, pemerintah harus menjamin transparansi, objektivitas, dan akuntabilitas dalam prosesnya. Transparansi diperlukan agar publik memahami kriteria dan dasar pertimbangan yang digunakan, lalu objektivitas penting untuk memastikan keputusan tidak dipengaruhi kepentingan politik sempit, sedangkan akuntabilitas menjadi kunci agar kebijakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Publik menaruh harapan bahwa hukum bukan sekadar simbol, tetapi benar-benar tegak sebagai penjamin keadilan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat mekanisme publikasi data, melibatkan lembaga independen, dan melakukan evaluasi berkala terhadap penerima grasi. Dengan langkah perbaikan ini, grasi tidak hanya sah secara formal, tetapi juga legitimate secara sosial. Namun demikian, perspektif rekonsiliasi dan reintegrasi sosial yang melekat pada kebijakan ini harus berjalan beriringan dengan kesadaran akan risikonya, termasuk potensi krisis legitimasi hukum dan ketidakpercayaan publik jika transparansi diabaikan. Dengan demikian, grasi dapat benar-benar menjadi instrumen pemulihan sosial yang bermanfaat nyata bagi masyarakat, tanpa mengorbankan wibawa hukum dan prinsip keadilan

Komentar