Kronologi Singkat & Kerangka Hukum
Skandal ini pertama kali terungkap pada Januari 2025, ketika hasil audit investigatif internal menemukan adanya penyimpangan mutu BBM yang tidak sesuai standar. Dalam waktu singkat, pemberitaan media dan desakan masyarakat sipil mendorong Kejaksaan Agung serta KPK untuk membuka penyidikan. Dimulai pada bulan Februari 2025 telah adanya pembentukan tim khusus yang dilakukan oleh Kementerian BUMN untuk melakukan audit forensik, lalu kemudian pada bulan Maret 2025 terdapat enam tersangka yang telah ditetapkan oleh Kejagung, dimana para tersangkat tersebut berasal dari jajaran direksi dan komisaris dari PT Patra Niaga selaku anak perusahaan dari Pertamina. Salah satu tersangka disebut memiliki hubungan bisnis dengan pihak luar negeri yang menyuplai BBM non-standar.
Buntut penyelidikan memunculkan beberapa petinggi Pertamina sebagai tersangka, termasuk CEO anak perusahaan Patra Niaga dan beberapa komisarisnya (Wikipedia). Dalam kasus ini bisa dijerat terkait dengan penyalahgunaan kewenangan berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor dan KUHAP. Selain itu, urgensi penerapan tanggung jawab korporasi menurut UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbarui dalam UU No. 20 Tahun 2001 menjadi sangat relevan untuk memastikan bahwa badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sejalan dengan itu, pendapat ahli hukum pidana korporasi seperti Akbar (2021) menyatakan bahwa pendekatan pemidanaan terhadap entitas bisnis harus dilandasi oleh rekonstruksi niat jahat melalui sistem kontrol internal, sehingga pertanggungjawaban tidak berhenti pada individu namun juga mencakup struktur pengambilan keputusan dalam perusahaan (Akbar, 2021).
Dampak Sistemik & Ketahanan Regulasi
Korupsi sebesar ini memunculkan risiko besar bagi stabilitas keuangan negara dan kepercayaan terhadap BUMN. Secara struktural, praktik semacam ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal dan audit, serta kebutuhan mendesak reformasi kebijakan transparansi bilateral antara DPR, KPK, dan BPK (pro.hukumonline.com).
Ahli hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Fatahillah Akbar, menekankan hak konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti rugi secara kolektif (class action) terhadap Pertamina sebagai respons atas kerugian masyarakat luas (Wikipedia).
Tantangan Penegakan Hukum
Penelusuran dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan perusahaan besar memerlukan upaya lintas lembaga yang profesional dan transparan. Terdapat keluhan soal puluhan saksi yang belum diperiksa dan proses penyidikan yang dinilai lambat oleh publik. Bila tidak disikapi dengan tegas, kasus ini bisa melemahkan persepsi hukum sebagai instrumen keadilan dan akuntabilitas negara.
Rekomendasi
-
Reformasi transparansi BUMN: Pemerintah perlu mendorong pelaksanaan audit independen jangka panjang terhadap BUMN secara berkala, serta membuka akses publik terhadap hasil audit dan kinerja keuangan perusahaan. Hal ini tidak hanya bertujuan memperkuat kontrol sosial, namun juga menciptakan mekanisme check and balance antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sipil. Langkah ini sejalan dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam laporan integritas BUMN serta prinsip-prinsip transparansi OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises.
-
Penguatan kewenangan KPK, termasuk peningkatan otoritas dalam penyidikan korupsi di level korporasi serta akses langsung terhadap audit BUMN, menjadi langkah penting yang perlu didorong. Hal ini harus disertai dengan pembenahan regulasi teknis dan dukungan anggaran. Di sisi lain, percepatan proses yudisial terhadap pejabat tinggi dapat dilakukan melalui pengadilan khusus tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, guna menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum.
-
Pembaruan regulasi tanggung jawab korporasi menjadi sangat krusial dalam konteks penegakan hukum modern, khususnya untuk memastikan bahwa tanggung jawab pidana dan perdata tidak hanya dibebankan kepada individu pelaku, tetapi juga kepada badan hukum sebagai entitas. Hal ini sejalan dengan perkembangan hukum global dan kebutuhan nasional untuk mengatur pemidanaan korporasi secara lebih tegas, sebagaimana tercermin dalam berbagai diskursus hukum dan rekomendasi akademik. Mahkamah Agung melalui Peraturan MA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi juga telah memberikan kerangka teknis dan yuridis dalam menjerat entitas korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, regulasi yang ada perlu diperkuat dengan penambahan norma eksplisit terkait mekanisme pemidanaan korporasi, pengawasan internal yang terstruktur, serta pengaturan sanksi administratif dan kompensasi korban dalam skema tanggung jawab kolektif perusahaan.
-
Class action dan mekanisme partisipasi publik bahwa intrumen penyelesaian kerugian adalah hal yang paling untuk dapat menjamin akuntabilitas korporasi dan perlindungan terhadap korban. Dalam konteks skandal Pertamina, langkah hukum berupa gugatan perwakilan kelompok (class action) dapat diajukan oleh konsumen yang dirugikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, dan diperkuat oleh ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Selain itu, partisipasi publik melalui forum konsultasi kebijakan, audit sosial, serta pelibatan organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat transparansi dan mendorong pemulihan kerugian secara adil. Menurut Prof. Fatahillah Akbar, pemberdayaan class action dalam skandal ini tidak hanya bernilai secara yuridis, namun juga simbolis, sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan pengawasan struktural BUMN (Akbar, 2021).
Kesimpulan
Kasus korupsi Pertamina menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali posisi negara dalam menegakkan supremasi hukum dan mendorong reformasi kelembagaan secara menyeluruh. Kejadian ini memperlihatkan urgensi perbaikan sistem pengawasan BUMN serta menekankan pentingnya tanggung jawab korporasi dalam menjalankan tata kelola yang bersih dan akuntabel. Negara dan masyarakat berhak menuntut transparansi serta penegakan hukum yang adil dan tegas sebagai representasi nyata dari kedaulatan hukum. BUMN, dalam konteks ini, tidak boleh menjadi zona kompromi, melainkan harus tampil sebagai teladan penegakan etika publik, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Komentar