Langsung ke konten utama

Etika dan Integritas Profesi Hukum di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

 

Ilustrasi etika profesi hukum di tengah krisis kepercayaan publik, menampilkan siluet pengacara dan gedung pengadilan
Tahun 2025 suatu tahun yang telah menjadi titik balik dan menyentak kesadaran kolektif bangsa. Skandal korupsi besar yang menyeret BUMN sekelas Pertamina bukan hanya mencederai kepercayaan publik terhadap institusi negara, tetapi juga menimbulkan gelombang krisis legitimasi terhadap aparat penegak hukum. Dampaknya tidak sebatas pada ranah politik dan ekonomi, tetapi juga menggerus sendi kepercayaan masyarakat pada sistem hukum secara menyeluruh. Dalam atmosfer penuh sorotan ini, profesi hukum dituntut untuk berperan ganda: tidak sekadar menjalankan prosedur yuridis, tetapi juga tampil sebagai penjaga moral keadilan sekaligus motor penggerak pemulihan legitimasi hukum. sebuah tulisan ini akan mengajak refleksi kritis tentang bagaimana sebuah etika dan integritas seharusnya menjadi pondasi utama suatu profesi hukum, bukan hanya pelengkap simbolik dalam merespons tentang ujian kepercayaan publik sekaligus krisis legitimasi negara hukum.

Krisis Kepercayaan dan Relevansi Etika Profesi

Krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum tidak kemudian langsung muncul dalam ruang hampa dengan tanpa alasan dari suatu peristiwa dan kebijakan. Ia tumbuh dari akumulasi pengalaman buruk masyarakat terhadap aparat hukum yang korup, manipulatif, atau kompromistis. Kasus korupsi Pertamina 2025 hanyalah satu dari sekian banyak momen krisis moral yang menuntut profesi hukum untuk bercermin. Dalam kondisi ini, Kode Etik Advokat Indonesia dan nilai-nilai dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjadi relevan untuk dihidupkan kembali sebagai etika praksis, bukan sekadar formalitas. Lebih jauh, krisis ini menunjukkan bahwa keberadaan regulasi saja tidak cukup; yang dibutuhkan adalah implementasi yang konsisten dan penegakan yang berani, sehingga norma hukum benar-benar hadir sebagai pedoman moral sekaligus instrumen keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan di mata publik.

Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, integritas merupakan fondasi utama dalam sistem hukum. Dalam tulisannya berjudul “Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia”, ia mengingatkan bahwa keruntuhan moral aparat hukum akan melemahkan keseluruhan sistem hukum, karena “law enforcement holds an important role in Indonesian legal system. How strict the law is enforced will determine the existence of the law itself” (ScholarHub UI).

Tantangan Nyata dalam Praktik Profesi

Dalam praktiknya, para profesional hukum kerap berada di persimpangan antara mempertahankan integritas atau mengejar keuntungan materi. Saat menangani klien dari kalangan korporasi besar atau elite politik, godaan untuk memoles atau bahkan mengaburkan fakta demi mencapai hasil yang diinginkan bisa sangat kuat. Tidak jarang, tekanan ekonomi maupun politik membuat profesi hukum berada dalam posisi rawan kompromi. Meski demikian, keberpihakan pada kebenaran dan komitmen terhadap keadilan tetap harus menjadi landasan utama yang menuntun setiap langkah profesi hukum. Di sinilah pentingnya kesadaran etik dan refleksi diri, agar setiap keputusan tidak hanya sah secara hukum positif, tetapi juga benar secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Menurut Hukumonline (2018), advokat berisiko menjadi ‘posisi yang dimanfaatkan’ dalam praktik kejahatan seperti pencucian uang, karena perannya dalam memperlancar penyamaran aliran dana kliennya (Hukumonline). Hal ini menegaskan perlunya mekanisme pengawasan etik internal yang lebih kuat, termasuk Dewan Kehormatan yang aktif, transparan, dan memiliki sanksi tegas.

Rekonstruksi Etika dalam Pendidikan dan Praktik

Etika bukanlah produk instan. Ia perlu ditanamkan sejak pendidikan hukum. Kurikulum yang menekankan kecakapan teknis hukum tanpa memperkuat fondasi moral hanya akan menghasilkan "tukang hukum" alih-alih "penjaga keadilan". Oleh karena itu, perlu ada reformasi kurikulum hukum di perguruan tinggi agar memasukkan pendekatan etika deliberatif dan praktik empatik sebagai bagian dari proses pendidikan.

Organisasi profesi hukum juga harus memperbarui kode etiknya agar relevan dengan tantangan era digital, termasuk konflik kepentingan dalam advokasi daring, pencitraan di media sosial, dan perlindungan data klien, yang merupakan amanah kepercayaan, harus dikelola dengan penuh integritas dan tanggung jawab, sehingga menjadi wujud nyata komitmen profesional terhadap etika. Integritas di sini berarti menjaga kerahasiaan, menghindari konflik kepentingan, dan memastikan setiap langkah yang diambil tidak mencederai nilai keadilan.

Menjawab Harapan Publik

Profesi hukum tidak bisa lagi menutup mata terhadap ekspektasi masyarakat. Publik menuntut keadilan yang berintegritas, akuntabel, dan dapat dipercaya. Maka, setiap individu dalam profesi hukum harus berani merefleksikan ulang motivasinya: apakah ia menjadi pembela kebenaran, atau sekadar pelayan kekuasaan?

Masyarakat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi konsistensi sikap dan kejujuran moral. Dengan demikian, setiap praktik hukum harus dilandasi niat tulus untuk melayani publik.

Penutup

Etika dan integritas bukanlah hanya menjadi pelengkap saja melainkan harus menjadi sebuah inti yang menghidupkan profesi hukum yang dapat menopang kepercayaan publik. Dalam krisis seperti kasus Pertamina, dimana profesi hukum sangat dituntut untuk dapat membuktikan kelayakannya sebagai penjaga keadilan yang setia pada kebenaran. Diperlukan pembaruan mendalam secara personal, kelembagaan, dan kultural agar hukum tidak terjebak menjadi alat kekuasaan, melainkan kembali tegak sebagai pilar keadilan yang beradab, berintegritas, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.

Komentar