Perbedaan Perjanjian di Bawah Tangan dan Akta Otentik: Panduan Praktis bagi Praktisi & Pelaku Usaha
Dalam praktik bisnis dan hukum perdata, perjanjian merupakan pondasi yang mengatur hak dan kewajiban para pihak, sekaligus menjadi instrumen penting dalam menjaga kepastian hukum sebagaimana Pasal 1313 KUH Perdata . Bentuk perjanjian yang dipilih akan sangat memengaruhi kekuatan pembuktiannya di hadapan hukum. Secara umum, terdapat dua bentuk yang paling sering digunakan, yakni perjanjian di bawah tangan dan akta otentik. Mengetahui perbedaan keduanya secara praktis akan membantu pelaku usaha dan praktisi hukum menentukan format dokumen yang paling tepat, efisien, dan aman sesuai kebutuhan transaksi serta tingkat risiko hukumnya.
Definisi dan Dasar Hukum
Perjanjian di bawah tangan: Merupakan perjanjian yang disusun dan ditandatangani oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat umum. Yang dimaksud pejabat umum di sini adalah pejabat negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membuat akta otentik, seperti notaris, PPAT, atau pejabat pencatat sipil. Perjanjian ini biasanya dibuat secara langsung oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa formalitas khusus. Bentuknya diatur dalam Pasal 1874 KUH Perdata dan secara hukum sah selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Prof. Subekti, SH, perjanjian di bawah tangan memiliki kedudukan hukum yang sah selama memenuhi unsur kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal, namun kekuatan pembuktiannya lebih rendah dibanding akta otentik (Hukum Perjanjian, 1985). Hal senada juga disampaikan oleh R. Setiawan, yang menekankan bahwa kelemahan utama perjanjian di bawah tangan adalah mudahnya pihak lain mengingkari atau memalsukan dokumen sehingga diperlukan langkah penguatan, seperti menghadirkan saksi atau melakukan legalisasi tanda tangan (Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1999). Meskipun sederhana, praktisi dan pelaku usaha tetap perlu memastikan identitas para pihak jelas, isi perjanjian tidak melanggar hukum, dan ditandatangani di atas materai untuk memperkuat nilai pembuktiannya.
Akta otentik: Merupakan akta yang disusun oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang (misalnya notaris) sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Akta ini memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna, baik secara formil maupun materiil, sehingga isinya dianggap benar oleh hukum sampai ada pembuktian sebaliknya—artinya, pengadilan akan menerima isi akta tersebut sebagai kebenaran hukum sampai pihak lain dapat membuktikan kebalikannya dengan bukti yang sah. Dalam praktik, akta otentik sering dipilih untuk transaksi bernilai besar atau yang diwajibkan undang‑undang, karena proses pembuatannya melalui prosedur resmi, tanda tangan para pihak disahkan, dan salinannya tersimpan dalam arsip resmi notaris sehingga aman dari sengketa keaslian.
Kekuatan Pembuktian
Bawah tangan: Sah secara hukum dan tetap dapat menjadi alat bukti di pengadilan, namun kekuatan pembuktiannya tidak sempurna. Artinya, isi perjanjian ini masih dapat dibantah atau disangkal oleh pihak berkepentingan dengan menghadirkan bukti lain, seperti saksi atau dokumen pendukung. Dalam praktik, nilai pembuktiannya akan lebih kuat jika ditandatangani di hadapan saksi, misalnya dua orang saksi yang tidak memiliki kepentingan dalam perjanjian atau disertai legalisasi tanda tangan oleh notaris. Legalisasi ini berarti notaris membubuhkan pengesahan bahwa tanda tangan para pihak benar adanya, yang secara praktis akan mempersulit pihak lain untuk menyangkal keaslian dokumen tersebut dan meningkatkan kredibilitasnya di hadapan hakim.
Otentik: Memiliki pembuktian sempurna secara formil dan materiil, artinya isi akta dianggap benar oleh hukum tanpa memerlukan pembuktian tambahan dari pihak yang menggunakannya. Di pengadilan, hakim akan langsung menerima keterangan dan fakta yang tercantum dalam akta otentik sebagai kebenaran, kecuali ada pihak yang dapat membuktikan kebalikannya dengan alat bukti yang sah. Keunggulan ini membuat akta otentik menjadi pilihan utama dalam transaksi penting karena mengurangi risiko sengketa dan mempercepat proses pembuktian di persidangan.
Biaya dan Proses
Bawah tangan: Proses pembuatannya relatif murah dan cepat karena tidak memerlukan keterlibatan pejabat umum. Cukup dengan kesepakatan para pihak yang kemudian dituangkan secara tertulis dan dibubuhi tanda tangan di atas materai. Dalam praktik, pelaku usaha sering memanfaatkan bentuk ini untuk efisiensi waktu dan biaya, terutama pada transaksi yang bersifat internal atau bernilai kecil. Meski demikian, tetap disarankan memastikan redaksi jelas, identitas para pihak lengkap, dan jika memungkinkan dilengkapi saksi atau legalisasi tanda tangan untuk menguatkan nilai pembuktiannya.
Otentik: Memerlukan biaya jasa notaris yang bervariasi tergantung nilai transaksi, kompleksitas dokumen, dan ketentuan biaya notaris setempat. Prosesnya mengikuti prosedur formal yang meliputi pemeriksaan identitas para pihak, pengecekan keabsahan objek perjanjian, pembacaan isi akta oleh notaris, serta penandatanganan di hadapan notaris. Tahapan ini memastikan bahwa akta dibuat sesuai hukum, para pihak memahami isi perjanjian, dan salinan resmi tersimpan di arsip notaris sehingga memberikan keamanan hukum maksimal.
Risiko dan Keamanan Hukum
Bawah tangan: Memiliki risiko karena rawan diperdebatkan keasliannya atau dimanipulasi, terutama jika tidak ada saksi atau legalisasi tanda tangan. Dalam praktik, pihak yang merasa dirugikan dapat menyangkal isi atau tanda tangan dalam dokumen ini, sehingga memerlukan proses pembuktian tambahan di pengadilan. Risiko lain termasuk hilangnya dokumen asli atau perubahan sepihak yang sulit dibuktikan jika tidak ada salinan atau arsip resmi.
Otentik: Lebih aman, sulit dipalsukan, dan memiliki arsip resmi yang tersimpan di kantor notaris sehingga dapat diakses kembali jika terjadi sengketa atau kehilangan dokumen asli. Risiko pemalsuan atau pengingkaran isi akta relatif kecil karena dibuat dengan prosedur resmi dan diawasi pejabat umum berwenang. Keamanan hukum juga lebih terjamin, mengingat setiap salinan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sama dan dapat langsung digunakan di pengadilan tanpa memerlukan legalisasi tambahan.
Pertimbangan Pemilihan Bentuk Perjanjian
Bawah tangan: Cocok digunakan untuk kesepakatan yang bersifat sederhana, bernilai transaksi relatif kecil, atau yang membutuhkan penyelesaian cepat tanpa prosedur formal. Dalam praktik, bentuk ini lazim dipilih untuk perjanjian internal perusahaan, kerja sama awal, atau transaksi jual beli sederhana, dengan catatan para pihak memahami risiko pembuktiannya dan bersedia menambah penguatan hukum jika diperlukan.
Otentik: Tepat untuk transaksi bernilai besar, objek atau jenis perbuatan hukum yang secara tegas diatur undang-undang harus dibuat secara otentik (misalnya jual beli tanah atau pendirian badan hukum), atau situasi di mana para pihak membutuhkan kekuatan pembuktian maksimal. Dalam praktik, pemilihan bentuk ini sering dipertimbangkan untuk mengurangi risiko sengketa, memastikan keabsahan dokumen di mata hukum, dan memberikan jaminan kepastian hukum jangka panjang.
Kesimpulan
Semakin besar nilai atau risiko transaksi, semakin kuat bentuk perjanjian yang dibutuhkan. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk mempertimbangkan aspek kekuatan pembuktian, biaya, risiko, dan tingkat keamanan hukum sebelum memilih bentuk perjanjian. Pertimbangan ini sebaiknya juga mencakup sifat hubungan hukum para pihak, potensi perubahan kondisi di masa mendatang, dan kebutuhan akan bukti yang dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama. Dari sisi praktis, para pihak juga perlu memikirkan ketersediaan sumber daya untuk menyusun dokumen, akses terhadap pejabat umum seperti notaris, serta urgensi waktu penyelesaian transaksi. Sebagai saran objektif, pihak-pihak yang terlibat sebaiknya melakukan analisis risiko hukum sejak tahap perencanaan, berkonsultasi dengan penasihat hukum untuk memilih format perjanjian yang paling sesuai, dan menyiapkan dokumentasi pendukung secara lengkap, untuk hal ini dapat lihat juga bagaimana syarat perjanjian menurut KUH Perdata untuk memahami dasar hukum sebelum memilih bentuk perjanjian. Pemilihan bentuk perjanjian yang tepat bukan hanya akan meminimalisir potensi sengketa, tetapi juga memperkuat posisi tawar, menciptakan kepastian hukum, dan melindungi kepentingan para pihak secara optimal baik dalam jangka pendek untuk eksekusi kesepakatan, maupun dalam jangka panjang sebagai rujukan sah dan aman jika terjadi perselisihan atau penegakan hukum.
Komentar